[caption id="attachment_328486" align="aligncenter" width="340" caption="www.etsy.com"][/caption]
“Aku mohon sama Ibu, restui aku menikah dengan Satrio. Dia pasti bisa bahagiakan aku, Bu.”
Itu suara mbak Nunik. Tak kudengar suara ibu. Senyap menyergap. Aku mengintip dari balik pintu kamar yang sengaja tak kututup dengan rapat. Sayup-sayup Mbak Nunik mengiba pada ibu. Rayuan mbak Nunik terdengar seperti lagu sendu saja. Mbak Nunik meminta restu ibu untuk menikah.
Bapak? Bapak sudah tak ada sejak tujuh tahun lalu. Bapak sudah di alam kubur. Mati membawa segala rasa sakit karena kemiskinan yang mendera keluarga kami. Bapak sakit pikiran. Sakit karena memikirkan gunungan hutang pada Pak Gun. Sakit karena Pak Gun selalu memperlakukan bapak seenak jidatnya ketika menagih. Sakit karena Pak Gun habis-habisan mempermalukan keluarga kami.
Aku menghela nafas perlahan. Berharap ibu dan Mbak Nunik tak tahu aku menguping. Aku tahu mengapa ibu diam. Dulu ibu pernah bercerita padaku tentang mas Satrio, kekasih Mbak Nunik yang sudah menjalin hubungan selama dua tahun.
“Ibu ko’ kurang sreg sama pacar kakakmu itu ya, kelihatannya sih baik. Di depan ibu tingkah lakunya sopan, tutur katanya lembut, tapi…”
“Tapi kenapa, Bu?”
“Ibu pernah beberapa kali tidak sengaja mendengar kakakmu menangis saat menerima telepon dari pacarnya itu, Nit…ibu tidak terima anak ibu sering dibikin nangis, masih pacaran saja sudah berani begitu, bagaimana kalo sudah menikah nanti?"
“Namanya juga hubungan, Bu. Mungkin lagi ribut,” aku membela Mbak Nunik.
“Ibu hanya merasa kakakmu itu tidak akan bahagia bila menikah dengan Satrio…”
“Bu, jodoh itu kan Gusti Allah yang mengatur. Bila Mas Satrio itu sudah jodohnya Mbak Nunik, bagaimana?” Aku menyisir pelan-pelan rambut ibu yang mulai memutih. Rambut panjang milik ibu dulunya berwarna hitam legam dan mengkilat, persis seperti bintang iklan shampo yang kulihat di televisi.