Mohon tunggu...
Dewi Leyly
Dewi Leyly Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - ASN

Life is a journey of hopes.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Manusia-manusia 10 April (7)

7 Mei 2019   13:33 Diperbarui: 7 Mei 2019   13:44 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan itu adalah kali pertama aku melihat kesunyian di sepanjang perjalanan arah naik dari desa Asmorobangun sampai dengan desa Puncu. Desa yang bagiku sebelumnya adem ayem dan nggak ada matinya, selalu riuh dengan suara bocah-bocah yang ceria di sekolah, lalu lalang kendaraan yang melintas kerumunan para ibu di bakul ethek (tukang sayur keliling) langganannya, jajaran bapak dan ibu tani yang duduk di pematang sawah, yang dengan mesranya menyantap bekal sarapan dari rumah, atau hanya seorang nenek sepuh yang biasanya berpapasan denganku, berjalan terbungkuk-bungkuk dengan tongkat di tangannya menyeberang jalan di pertigaan itu.

Pada hari itu telah berganti suasana menjadi panas, pengap dan sunyi. Tak seorangpun kelihatan. Hanya atap-atap rumah yang hancur, teras yang ambleg, dedaunan yang kering seperti bekas terbakar, tertutup oleh lapisan putih abu yang turun merata, memupuskan harapan para petani yang menunggu tibanya masa panen cabe, padi, tebu, pepaya, dan lain-lainnya. Jalanan tertutup lautan kerikil dan batu, sehingga menyulitkan  laju kendaraan yang melintas.

Aku mencoba mengorek-ngorek lapisan kerikil dan batu di Puskesmas dengan kakiku dan kutemukan kedalaman sekitar 30 cm atau bahkan bisa lebih di daerah atas sana.

Astaga... aku tak bisa membayangkan kengerian peristiwa malam itu. Segera kukemasi semua stok masker hidung yang ada di Puskesmas, baik di Apotik, Poli umum, Poli gigi, poli KIA, bahkan di gudang obat. Semuanya masuk ke bagian belakang ambulans yang kondisi bodynya tak karu-karuan terkena hantaman hujan batu semalam. Kengerian yang sama saat melihat kearaan Puskesmas saat itu, beberapa plafon jebol, genting dan asbes hancur, kayu penyangga di atas juga ada yang patah.

Berkemas sendirian di tengah suasana sunyi mencekam seperti itu, benar-benar menimbulkan perasaan yang "sesuatu banget". Pak Dokter tadi berpamitan melihat-lihat keadaan di kecamatan. Sedangkan Pak Min juga minta ijin untuk pulang menengok keadaan rumahnya. Tinggallah aku sendirian, tolah-toleh kayak wong ilang (menoleh kesana kemari seperti orang hilang).

Kulangkahkan kakiku menuju Kantor Kecamatan yang berjarak 300 meter dari Puskesmas. Tapi sepanjang edaran pandangan, tak kutemukan sosok Pak Dokter disana. HP yang kubawa juga low bat, benar-benar tak berkompromi di saat tak tepat seperti ini.

Sementara itu sebuah mobil pick up bak terbuka bersiap diberangkatkan. Ada seorang kakek yang tetap tidak mau diajak mengungsi.

" Ayo Mbah, cepetan naik mobil sini. Kita turun ke bawah mengungsi dulu. Nanti kalau sudah aman baru kembali ke rumah," ajak salah seirang anggota tentara pada kakek itu.

"Wis, aku disini saja. Ajak mbah putri turun. Aku masih punya tanggungan wedhus (kambing). Nanti nggak ada yang ngopeni (merawat)," jawab si kakek.

"Lha Mbah Putri sakit, siapa yang merawat nanti ?" bujuk sang anggota tentara lagi.

"Ada Ndhuk'e (anak perempuan) yang merawat Mbah Putri," jawab si kakek lagi.

"Mbah, Gunung Kelud ini masih bisa meletus lagi lho. Belum lagi kalau ada wedhus gembelnya. Bahaya Mbah, kalau disini terus," kembali sang anggota tentara merayu si kakek.

" Aku ora wedi (Aku tidak takut)," singkat jawaban si kakek.

Dan begitulah, seribu jurus rayuan maut tak mempan menggoyahkan niat si kakek untuk tetap berada di situ. Demi melihat kondisi si Mbah Putri (nenek) yang sesak nafas dan perlu dirujuk ke RS segera, maka meluncurlah truk pick up itu ke bawah, ke kota berjarak sekitar 20 km dimana ada RS disana. Sementara si kakek segera beranjak dari tempat itu, setengah berlari menuju rumahnya.

"Lho Bu, panjenengan tidak ikut turun tho ?" sapa seorang anggota tentara padaku.

 "Iya. Saya masih menunggu Pak Dokter dan Pak Min," jawabku.

"Oo begitu. Pak Dokter tadi sepertinya sudah turun dengan Pak Camat. Ya, panjenengan secepatnya turun saja. Ada berita suhu Kelud meningkat drastis lagi..." info sang anggota tentara.

"Oo nggih. Terima kasih infonya..." jawabku, lalu bersegera kembali ke Puskesmas.

Di Puskesmas masih belum ada tanda-tanda Pak Min. Saat itu, aku sendiri juga belum tahu, dimana rumah Pak Min. HP juga sudah benar-benar tidak berfungsi lagi. Dengan gelisah aku berdiri bersandar pada ambulans, memandang langit ke arah selatan. Nampak gumpalan asap keluar dari puncak Kelud. Tapi tidak nampak seperti wedhus gembel. Sedikit tenang batinku melihatnya, karena sebelumnya tiba-tiba aku  membayangkan Mbah Marijan yang duduk tersungkur menepati janjinya menunggui gunung Merapi. Nggak lucu lah, kalau aku memplagiat cerita akhir hidup beliau, sedangkan aku bagaikan tamu di lereng Kelud ini.

 Mungkin sekitar setengah jam aku menunggu kedatangan Pak Min dengan H2C (Harap-Harap Cemas). Dan itu terasa setengah abad lamanya.

Dalam hatiku berkata, besok-besok kalau diajak naik lagi dan aku tidak melakukan tugas apapun, akan kubuntuti Pak Dokter dari belakang. Gila saja, suasana mencekam seperti kota mati begini dan aku ditinggal sendiri.

Dan syukurlah, Pak Min kembali lagi ke Puskesmas.

"Bagaimana Pak Min, keadaan rumahnya ? Keluarga panjenengan juga bagaimana ?"

"Alhamdulilah. Ibuk'e dan anak-anak sudah mengungsi ke rumah saudara. Kalau rumah, banyak genteng yang hancur dan plafon yang ambleg. Seisi rumah jadi bocor dan isi pasir semua. Semoga tidak hujan dulu. Saya masih mau cari terpal ini," cerita Pak Min.

"Cari terpal di mana, Pak Min ? Kita turun saja ya ? Tadi kata pak tentara, suhu Kelud naik lagi," jawabku.

"Lha Pak Dokter sudah kembali belum ?" tanya Pak Min.

"Pak Dokter sepertinya kok sudah turun dengan Pak Camat. Saya tadi cari ke Kecamatan nggak ada. Lha coba tho, Pak Dokter panjenengan telfon," pintaku.

"HP saya mati, Bu. Belum sempat ngecharge HP sejak kemarin," jawab Pak Min.

"Owalah... idem Pak. HP saya low bat dan sinyal sulit di sini. Nggak bisa nelfon panjenengan. Nggak bisa nelfon Pak Dokter. Nggak bisa hubungi siapa-siapa," kataku.

"Yo'oo... Mesakne, rek ! Nggak nangis tho, Bu ?" canda Pak Min.

"Hahaha... kalau panjenengan tidak segera datang, saya sudah nangis gulung koming (menangis meraung-raung) di sini ," jawabku.

Dan akhirnya, kami berdua pun turun dari Puskesmas saat jarum jam menunjukkan pukul 13.15 WIB di siang hari itu.
Saat sudah sampai di Posko di Pustu Gadungan dan HP sudah kucharge hingga kembali menyala, barulah muncul pesan dari Pak Dokter yang terkirim di jam 11.08 WIB ," Mohon segera turun. Suhu Kelud meningkat drastis."

Bersambung...

# 21.05.2015
# written by Dewi Leyly

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun