Dan itu adalah kali pertama aku melihat kesunyian di sepanjang perjalanan arah naik dari desa Asmorobangun sampai dengan desa Puncu. Desa yang bagiku sebelumnya adem ayem dan nggak ada matinya, selalu riuh dengan suara bocah-bocah yang ceria di sekolah, lalu lalang kendaraan yang melintas kerumunan para ibu di bakul ethek (tukang sayur keliling) langganannya, jajaran bapak dan ibu tani yang duduk di pematang sawah, yang dengan mesranya menyantap bekal sarapan dari rumah, atau hanya seorang nenek sepuh yang biasanya berpapasan denganku, berjalan terbungkuk-bungkuk dengan tongkat di tangannya menyeberang jalan di pertigaan itu.
Pada hari itu telah berganti suasana menjadi panas, pengap dan sunyi. Tak seorangpun kelihatan. Hanya atap-atap rumah yang hancur, teras yang ambleg, dedaunan yang kering seperti bekas terbakar, tertutup oleh lapisan putih abu yang turun merata, memupuskan harapan para petani yang menunggu tibanya masa panen cabe, padi, tebu, pepaya, dan lain-lainnya. Jalanan tertutup lautan kerikil dan batu, sehingga menyulitkan  laju kendaraan yang melintas.
Aku mencoba mengorek-ngorek lapisan kerikil dan batu di Puskesmas dengan kakiku dan kutemukan kedalaman sekitar 30 cm atau bahkan bisa lebih di daerah atas sana.
Astaga... aku tak bisa membayangkan kengerian peristiwa malam itu. Segera kukemasi semua stok masker hidung yang ada di Puskesmas, baik di Apotik, Poli umum, Poli gigi, poli KIA, bahkan di gudang obat. Semuanya masuk ke bagian belakang ambulans yang kondisi bodynya tak karu-karuan terkena hantaman hujan batu semalam. Kengerian yang sama saat melihat kearaan Puskesmas saat itu, beberapa plafon jebol, genting dan asbes hancur, kayu penyangga di atas juga ada yang patah.
Berkemas sendirian di tengah suasana sunyi mencekam seperti itu, benar-benar menimbulkan perasaan yang "sesuatu banget". Pak Dokter tadi berpamitan melihat-lihat keadaan di kecamatan. Sedangkan Pak Min juga minta ijin untuk pulang menengok keadaan rumahnya. Tinggallah aku sendirian, tolah-toleh kayak wong ilang (menoleh kesana kemari seperti orang hilang).
Kulangkahkan kakiku menuju Kantor Kecamatan yang berjarak 300 meter dari Puskesmas. Tapi sepanjang edaran pandangan, tak kutemukan sosok Pak Dokter disana. HP yang kubawa juga low bat, benar-benar tak berkompromi di saat tak tepat seperti ini.
Sementara itu sebuah mobil pick up bak terbuka bersiap diberangkatkan. Ada seorang kakek yang tetap tidak mau diajak mengungsi.
" Ayo Mbah, cepetan naik mobil sini. Kita turun ke bawah mengungsi dulu. Nanti kalau sudah aman baru kembali ke rumah," ajak salah seirang anggota tentara pada kakek itu.
"Wis, aku disini saja. Ajak mbah putri turun. Aku masih punya tanggungan wedhus (kambing). Nanti nggak ada yang ngopeni (merawat)," jawab si kakek.
"Lha Mbah Putri sakit, siapa yang merawat nanti ?" bujuk sang anggota tentara lagi.
"Ada Ndhuk'e (anak perempuan) yang merawat Mbah Putri," jawab si kakek lagi.