"Fiuhh... Surabaya panas sekali," batinku sambil mengusap peluh di kening. Sekarang pukul 11.10, masih 20 menit lagi dari waktu janjianku bertemu Joe.
Joshua atau Joe, adalah saudara sepupu Amelia, teman kostku. Aku berkenalan dengannya satu setengah tahun yang lalu ketika ia main-main ke tempat kost kami. Mau tahu kesan pertamaku terhadapnya ? Ya ampun, ini orang atau kereta api, merokok kok nggak berhenti-berhenti sih !!! He... he... he... Di balik asap rokoknya, Joe adalah pemuda yang menyenangkan untuk berbagi cerita. Pernah suatu kali setelah semalam sebelumnya kami makan ikan pee penyet dengan sambal super pedas di Dharmawangsa, keesokan harinya perut kami sama-sama mulas.
"Dik, aku kalah sebelum bertanding tenis sore ini. Mau gimana, baru pemanasan udah ke belakang lagi," lapor Joe.
"Iya, sama Mas. Aku juga nggak konsen praktikum hari ini, perutku nggak mau kompromi, " jawabku.
"Dik... besok jangan makan ke sana lagi ya..." kata Joe lagi.
"Iya, Mas. Kita black list aja ya tempat itu ...!!!"
Hi hi hi... tanpa sadar aku tersenyum sendiri mengingat-ingat peristiwa itu. Seorang gadis sebayaku yang duduk di sampingku menoleh ke arahku. Oops... jangan-jangan dipikirnya aku ini gila !
"Lagi nunggu teman ya, Mbak ?" tanyaku menutupi 'kegilaanku' tadi.
"Iya," jawabnya singkat.
"Sudah lama nunggunya, Mbak ? Emang janjian jam berapa ?" tanyaku lagi ketika kutangkap ada gelisah di wajahnya.
"Iya... lumayan juga. Janjinya sih jam setengah dua belas," jawabnya lagi. Aku melihat arloji, waktu menunjukkan pukul 11.30 tepat.
"Paling juga sebentar lagi datang, Mbak. Kena macet kali," hiburku.
"Iya," lagi-lagi jawabnya singkat.
"Mau minum, Mbak ?" aku menawarkan sebotol air mineral padanya.
"Tidak usah, terima kasih," tolaknya halus.
Ya sudah, aku minum sendiri saja. Aku sendiri juga haus banget gitu loh... ! Glek... glek... glek... Puji Tuhan !!! Betapa segarnya ketika air itu berpindah tempat membasahi kerongkonganku. Aku menengok ke sekeliling ruang tunggu yang ramai itu, namun tak kutemui sosok si hitam manis yang pernah mewarnai hari-hariku itu.
Terlintas lagi satu kisah, suatu hari dalam perjalananku ke Surabaya, tiba-tiba saja bus yang kunaiki oleng dan akhirnya terbalik di daerah Mojokerto. Joe menempuh perjalanan Surabaya - Mojokerto siang itu untuk menjemputku dengan motor tua kesayangannya. Aku begitu takut dan shock tiap kali mengingat hari itu. Namun aku sungguh bersyukur bahwa dalam kecelakaan yang memakan dua korban jiwa itu, Tuhan memberiku kesempatan lagi untuk melanjutkan kehidupanku. Dan diantara puluhan penumpang selamat lainnya yang mengalami luka-luka di tubuhnya, Tuhan menjagaku dengan herannya.
"Dik, kamu nggak apa-apa ? Kamu baik-baik saja kan ?" tanya Joe sambil mengusap rambutku yang penuh tumpahan oli. Aku hanya mengangguk miris menyaksikan bangkai bus yang hancur dalam posisi terbalik.
"Aku selamat, Mas..." bisikku tak percaya.
"Percayalah... tangan Tuhan merenda hidup Adik begitu indahnya," jawab Joe waktu itu.
"Satu lagi keinginanku terwujud, Dik !"
Aku tak mengerti maksud ucapan Joe itu sebelum akhirnya ia menjelaskan, "Kamu kelihatan tambah item seperti aku," candanya. Aku meninju lengan Joe dengan kepalan tangan kananku yang masih gemetaran.
Hari demi hari berlalu, cerita terus terajut. Dalam sorot mata Joe yang teduh terungkap rasa yang begitu dalam.
"Dik, saat aku resah, kamu selalu memotivasiku. Saat aku bimbang, kamu selalu memberiku semangat. Saat aku jatuh cinta..., adik mau memberi aku apa ?" tanya Joe suatu sore. Aku terdiam, mencari kejujuran di bola matanya. Hening sejenak ketika kemudian muncul ide untuk menggodanya seperti biasa...
"Aku nggak pernah merasa memberi apa-apa sama Mas. Emangnya Mas lagi jatuh cinta ya ? Jatuh cinta sama siapa, hayo... ???" candaku.
"Dik... Kamu tuh..." kata-kata Joe terputus.
"Emangnya aku kenapa, Mas ?" tanyaku penasaran.
" Kamu tuh lucu, dik," serentak tawa kami pun lepas.
Selanjutnya, semakin kami saling mengenal karakter kami masing-masing, semakin dalam perasaan sayang yang tumbuh di hati. Bunga-bunga yang kuncup mulai bermekaran seolah menyambut musim semi yang telah tiba. Aku berdoa mempergumulkan hal ini, " Tuhan, apakah pria ini yang menjadi pendamping hidupku ?"
Dan... waktu yang menjawab semua pertanyaan itu.
Hey... ngomong-ngomong ini sudah jam dua belas siang. Aku tersadar ketika naga-naga di perutku mulai kelaparan. Tapi si Joe belum nampak juga batang hidungnya. Tumben-tumbenan dia terlambat lama begini. Semoga nggak ada apa-apa dengannya. Dengan cemas aku mengedarkan pandang ke sekelilingku, tak kudapati sosoknya di tengah keramaian. Kusapukan sekali lagi mataku menyibak hiruk pikuk terminal, namun itu sia-sia saja. Kuteguk sisa air dalam botol minuman kemasan itu hingga tandas tak tersisa.
"Tuhan... kemana dia ?!!" tanya batinku. "Apa dia nggak bisa datang ? Tapi kenapa dia tidak memberitahuku... ?" Perlahan butir-butir air mata menetes dari sudut mataku.
Setengah tahun yang lalu, Joe juga pernah menghilang. Kami kehilangan komunikasi selama beberapa minggu dan kemudian dia tiba-tiba datang dengan berita yang mengagetkan.
"Dik, maafkan aku. Bukan aku mau sembunyi, tapi kenyataan ini harus kita hadapi. Apapun yang terjadi, kita tetap kakak dan adik, saling menyayangi dan saling membantu, masih ingat kata-kata itu kan ?"
"Mas..." dinding pertahananku jebol membanjirkan tangis tanpa kata. Seribu pertanyaan berkecamuk di dada. Tuhan, kenapa ini harus terjadi ? Kenapa dia harus pergi ? Kenapa tak ada lagi waktu buat kami bersama ? Tapi tak satupun pertanyaan itu keluar dari bibirku.
" Dik... menangislah kalau kamu ingin menangis. Akupun juga menangis memutuskan hal ini. Tapi bersyukurlah bahwa Tuhan memberi kita air mata."
Kuhapus air mataku dengan selembar tissue. Setelah menghela nafas panjang, kuambil HP di saku celanaku dan kutulis SMS untuk Joe...
" Brother, where are u ? Aku dari tadi duduk di dekat Twin Donuts. Aku sudah capek nunggu."
Tit... tit... Laporan bahwa pesan telah terkirim kuterima ketika waktu menunjukkan pukul 12.15. Hiruk pikuk terminal semakin terasa di siang bolong ini. Jika 15 menit lagi Joe atau pesannya tidak muncul, aku memutuskan untuk pulang. Mungkin kami memang tak diijinkan untuk bertemu lagi...
Satu menit... dua menit.... tiga menit... sepuluh menit berlalu sudah. Â Lima menit lagi aku harus pulang. Pupus sudah harapanku untuk bertemu dengannya. Aku menoleh ke arah para kondektur yang masih setia berdiri menanti para calon penumpang di bibir ruang tunggu. Suara mereka yang bising mendengung, membuat kepalaku terasa pusing. Kupijit-pijit keningku perlahan.
Tiba-tiba sesosok jangkung bertopi gelap dan berjaket jeans menghampiriku sambil mencangklong tas dan membawa koran di tangan kanannya.
"Dik, sudah lama ?" tanya pria itu sambil duduk di sebelahku.
"Thank's God... !!!" batinku bersorak saat mengenali siapa pria itu. Namun aku diam saja pura-pura tak mengenalinya.
Bersambung...
# written by Dewi Leyly
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H