"Dik, maafkan aku. Bukan aku mau sembunyi, tapi kenyataan ini harus kita hadapi. Apapun yang terjadi, kita tetap kakak dan adik, saling menyayangi dan saling membantu, masih ingat kata-kata itu kan ?"
"Mas..." dinding pertahananku jebol membanjirkan tangis tanpa kata. Seribu pertanyaan berkecamuk di dada. Tuhan, kenapa ini harus terjadi ? Kenapa dia harus pergi ? Kenapa tak ada lagi waktu buat kami bersama ? Tapi tak satupun pertanyaan itu keluar dari bibirku.
" Dik... menangislah kalau kamu ingin menangis. Akupun juga menangis memutuskan hal ini. Tapi bersyukurlah bahwa Tuhan memberi kita air mata."
Kuhapus air mataku dengan selembar tissue. Setelah menghela nafas panjang, kuambil HP di saku celanaku dan kutulis SMS untuk Joe...
" Brother, where are u ? Aku dari tadi duduk di dekat Twin Donuts. Aku sudah capek nunggu."
Tit... tit... Laporan bahwa pesan telah terkirim kuterima ketika waktu menunjukkan pukul 12.15. Hiruk pikuk terminal semakin terasa di siang bolong ini. Jika 15 menit lagi Joe atau pesannya tidak muncul, aku memutuskan untuk pulang. Mungkin kami memang tak diijinkan untuk bertemu lagi...
Satu menit... dua menit.... tiga menit... sepuluh menit berlalu sudah. Â Lima menit lagi aku harus pulang. Pupus sudah harapanku untuk bertemu dengannya. Aku menoleh ke arah para kondektur yang masih setia berdiri menanti para calon penumpang di bibir ruang tunggu. Suara mereka yang bising mendengung, membuat kepalaku terasa pusing. Kupijit-pijit keningku perlahan.
Tiba-tiba sesosok jangkung bertopi gelap dan berjaket jeans menghampiriku sambil mencangklong tas dan membawa koran di tangan kanannya.
"Dik, sudah lama ?" tanya pria itu sambil duduk di sebelahku.
"Thank's God... !!!" batinku bersorak saat mengenali siapa pria itu. Namun aku diam saja pura-pura tak mengenalinya.
Bersambung...