Dentuman bom terdengar lagi. Tak lama kemudian terdengar isak tangis Nabila, putriku.
Aku segera mencuci tangan yang tadi sedang asyik menyiangi sayuran yang akan kumasak.
"Kakak, kenapa?" tanyaku sambil duduk di tepi tempat tidurnya.
Nabila tak langsung menjawab. Isaknya makin terdengar. Segera kubalikkan tubuhnya yang sejak tadi tengkurap. Lalu kupangku dan kubelai rambutnya. Kemudian kuhapus air mata Nabila yang sudah menganak sungai.
"Kakak sedih, Bun," ucapnya sambil sesenggukan.
Aku menjadi sedikit panik mendengar jawabannya. Karena saat kutinggal ke dapur tadi emosinya sedang baik-baik saja. Malahan dia sedang asik bermain bersama dua bonekanya yang diberi nama Farah dan Adiba.
"Apa yang membuat Kakak sedih?" tanyaku penasaran.
"Bunda dengar tadi suara bom di TV?"
Aku mengangguk.Â
"Kakak takut dengar suara bom? Itu bukan di sini, Nak. Itu di negara Palestina," cerocosku.