"Aku enggak mau ada pesta di rumah ini, Bun! Aku enggak ingin punya teman!"
Teriakan Sinta yang bercampur amarah kembali terngiang.
Aku memijat kepala yang tiba-tiba terasa sakit.
Ada apa dengan putri sulungku? Mengapa dia sering tiba-tiba marah. Namun, sering
pula terlihat lembut dan anggun. Padahal usianya baru enam tahun.Â
Apakah ... ?
Ah ....
Aku memejamkan mata dan mencoba mengingat-ingat kembali serpihan kisah sembilan tahun yang lalu.
"May, kata temanku di kaki Gunung Galunggung ada nenek tukang urut yang bisa membantu kita memiliki keturunan. Kamu mau ya, ke sana. Siapa tahu kita berjodoh."
Mas Pram suamiku sedikit memaksa.
Kupindai wajah tampan laki-laki yang sudah menikahiku selama tiga tahun ini. Dari sorot matanya aku dapat artikan betapa dia begitu mendamba kehadiran seorang anak di keluarga kecil kami.