Mohon tunggu...
dewi laily purnamasari
dewi laily purnamasari Mohon Tunggu... Dosen - bismillah ... love the al qur'an, travelling around the world, and photography

iman islam ihsan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepotong Sandwich Buat Bu Tiyah

3 April 2024   12:03 Diperbarui: 3 April 2024   17:02 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hiruk pikuk pasar di bulan Ramadan terasa menyesakkan dada Bu Tiyah. 

Sejak sahur tadi berkecamuk di benaknya, akan makan apa hari ini? Tadi sore sudah habis tandas beras dari ember merah ukuran 5 liter. Tak bersisa. Sepekan ini tak ada yang memanggilnya untuk memijat. 

Usianya sudah kepala enam. Suami sakit-sakitan setelah operasi prostat dua tahun lalu. Tak bisa lagi mencari nafkah dengan mengojek. Tadi pagi Bu Tiyah marah-marah sambil menahan tangis. Air sudah di ujung pelupuk.  "Paaak! Bangun ... Jangan molor aja kalau abis subuh tuh. Rezeki dipatok ayam," sungut bu Tiyah sambil menggoyangkan badan suaminya yang tertidur di tikar depan televisi yang masih menayangkan siaran pagi.

"Bantuin jagain Mbok ya ... Itu masih tidur di kamar. Nanti kalau pingin sarapan masih ada nasi sedikit dan telur dadar di meja," lanjut Bu Tiyah mengingatkan suaminya agar menjaga ibunya yang sudah berumur delapan puluh tahun lebih dan tidak bisa lagi puasa karena penyakit maag.

"Aku mau ke pasar. Ada uang gak?" tanya Bu Tiyah. Suaminya yang belum sadar 100 persen hanya melongo dan menggeleng.

Bu Tiyah segera menyambar kerudungnya. Sambil menuntun Nia cicitnya yang umur empat tahun dan berpesan kepada cucunya siswa kelas 1 SMP yang sudah siap berangkat sekolah, "Adi ... Hari ini belum bisa bayar patungan bukber sekolah. Bilangin Bu Guru, Mbah belum ada duit." Adi cuma bisa mengangguk dan mencium tangan neneknya.

Mereka sama-sama keluar rumah, Adi ke arah kanan dan Bu Tiyah ke arah kiri.

Nia terseok mengikuti langkah Bu Tiyah menuju rumah di komplek yang berada di depan gang sempit rumah mereka. Ada harapan dapat pinjaman uang dari Bu Sari yang biasa dipijat jika pegal sehabis dari luar kota.

"Assalamu'alaikum ... Permisi, Bu Sari..." kata Bu Tiyah di depan pagar hitam. Ada pohon kamboja sedang berbunga lebat. Wangi ... Namun, hati Bu Tiyah sedang keruh tidak bisa menikmati keindahan di depan matanya.

"Masuk Bu ..." kata Bu Sari. "Aku gak pegal kok ... He3 ..." lanjutnya.

"Maaf ya Bu ... Boleh pinjam seratus. Ini dompet kosong melompong belum ada yang panggil mijet," kata Bu Tiyah lugas. Memang begitu adatnya. 

Bu Sari sudah marfum. Segera mengambil uang dan menyerahkan kepada Bu Tiyah. "Terima kasih Bu ... Nanti pijet gak usah bayar lagi ya. Ini hutang loh!" kata Bu Tiyah girang.

Seratus ribu. Lembaran berwarna merah itu sekarang ada di dompet lusuh Bu Tiyah. Nia, anak kecil berbadan kurus itu masih terus saja melangkah terseok di pasar mengikuti Bu Tiyah. Beras lima kilo sudah enam puluh ribu. Tempe, tahu, bawang merah, bawang putih, cabe, sawi, wortel, kecap. Ya ampun ... Tinggal sepuluh ribu. Mau beli telur tapi ragu. Kosong lagi dompetnya. "Aduh ... Kalau Nia minta jajan sore pas ngabuburit gimana?" batin Bu Tiyah.

Akhirnya telur tidak jadi dibeli. Apalagi ayam, mana sanggup. Bu Tiyah bergegas menuju  rumah untuk siap-siap mencuci baju dan menjemurnya, mumpung matahari sedang terik. Dilemanya kalau siang bolong pastinya rumah Bu Tiyah akan panas karena atapnya dari asbes tanpa plafon.

Bu Tiyah sering -berulang kali mengatakan kepada para langganannya. Dia sekarang harus menanggung makan mertua, suami, anak, cucu, dan cicit. "Anak saya itu Mia gak becus kerjanya.  Pindah-pindah terus, gak betah. Kan jadinya nyusahin orang tua aja," Mia seorang janda akibat ditinggal kabur suaminya. Anaknya ikut tinggal di rumah Bu Tiyah. Sedangkan Nia adalah cicit Bu Tiyah dari cucunya yang hamil di luar nikah. 

"Duuuhhhh ... Memang riweuuuh hidup saya ini sekarang," begitu keluh kesah yang membuat pelanggannya bersyukur karena tidak mengalami nasib seperti Bu Tiyah.

"Apa ya namanya sekarang itu? Keren deh kayak roti orang bule," kata Bu Tiyah.

"Ooohhh ... Sandwich generation," sahut Bu Sari sambil memejamkan mata menikmati pijatan Bu Tiyah.

"Iiihhh ... Roti isi itu saya gak doyan," balas Bu Tiyah sambil menggeleng. 

"Ha3 ... Aku juga gak mau lah kalau harus jadi sandwich generation, walau cuma sepotong," lanjut Bu Sari.

"Iya Bu ... Jangan sampe deh kayak saya. Ribet!" kata Bu Tiyah sambil mengoleskan minyak urut di betis dan paha. Bu Sari sudah memejamkan mata lagi dan terlelap tidur.

Bu Sari seorang arsitek berusia 40 tahun bukanlah generasi sandwich. Ayahnya dokter spesialis dan ibunya dosen sekaligus pengacara. Ibu mertuanya dokter spesialis dan ayah mertuanya dosen. Bu Sari mendapat warisan setengah milyar dari orang tuanya. Begitu juga suaminya mendapat warisan dengan jumlah yang hampir sama ketika ibu dan ayahnya tiada. Semuanya itu dari tabungan, asuransi, logam mulia, penjualan aset berupa rumah dan tanah milik orang tuanya yang dibagi bersama adik dan kakak sesuai hukum Islam.

Belum sempat berbakti kepada orang tua itu sering membuat Bu Sari dan suami merasa sangat sedih. Jangankan orang tua mereka minta dibantu, malah sering Bu Sari dan suami yang diberi hadiah. Mereka berdua disekolahkan hingga pascasarjana. Kesehatan orang tua mereka cukup prima, sehingga sampai akhir hayat tidak mengidap penyakit yang berbahaya secara menahun. Ketika akan wafat hanya beberapa hari saja di rawat di rumah sakit, sebagai jalannya untuk berpulang kehadirat Illahi Rabbi. Jadi untuk menebusnya Bu Sari dan suami menyisihkan sepertiga dari warisan untuk diwakafkan dengan bermohon kepada Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Pemberi Karunia agar pahalanya juga sampai kepada orang tua mereka.  

Anak-anak Bu Sari masih sekolah di SMA, SMP, dan SD. Setiap bulan di luar kebutuhan sehari-hari, suaminya menyisihkan gaji untuk tabungan pendidikan dan program dana pensiun. Sedangkan Bu Sari lebih senang menabung dengan membeli perhiasan emas atau logam mulia untuk simpanan. Bersyukur dari warisan mereka bisa menunaikan ibadah haji di usia belum genap 40 tahun dengan maksud agar pahala harta yang digunakan beribadah itu juga sampai kepada orang tuanya. Ada juga tabungan khusus untuk ibadah umroh yang disisihkan dari uang THR.

Satu jam kemudian.

"Bu ... Bu ... Maaf sudah selesai nih pijetnya belakang. Bisa miring ... Biar yang sebelah sini dipijet juga," kata Bu Tiyah sambil menepuk punggung tangan Bu Sari.

Akhirnya setelah selesai semua bagian badan hingga kepala dan wajah. Bu Sari memberikan uang selembar seratus ribu rupiah dan beberapa potong roti sandwich sisa sarapan. "Ini ada sandwich buat Nia dan Adi ya Bu," kata Bu Sari.

"Loh ... Saya kok mirip daging dan sayuran yang dijepit roti di atas dan di bawah ya?" Bu Tiyah bergumam sambil tersenyum karena sekarang dompetnya lusuhnya telah berisi uang seratus ribu rupiah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun