Aku berdiri di depan cermin sambil memperhatikan wajahku yang makin berbinar dan perutku yang sudah membesar. Lima tahun lamanya aku dan Mas Farhan menantikan kehadiran buah hati. Maka tak heran, kami sangat senang saat alat tes kehamilan menyatakan aku positif hamil. Kebahagiaanku makin membuncah karena sebentar lagi usiaku bertambah.
“Sayang, lagi apa?” tanya Mas Farhan seraya memelukku dari belakang.
“Nggak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang mensyukuri nikmatNya.”
“Oh iya, sebentar lagi ada yang ulang tahun, nih! Kamu mau kado apa?” tanya Mas Farhan sambil membalik tubuhku hingga kami berhadap-hadapan dan hampir tak berjarak.
“Aku cuma mau kamu,” jawabku sambil tersenyum. “Terima kasih ya sudah menjadi suami yang baik untukku. I love you!” lanjutku lagi. Kali ini aku menenggelamkan tubuhku di pelukannya. Pelukan penuh cinta yang selama lima tahun ini menghangatkan malam-malamku. Aku jadi teringat bagaimana dulu Mas Farhan mati-matian memperjuangkanku di depan keluarganya. Waktu itu, aku dianggap tak layak bersanding dengan Mas Farhan hanya karena aku anak yatim piatu yang ditaruh begitu saja di depan panti. Aku besar di panti asuhan yang kemudian mempertemukanku dengan Mas Farhan yang saat itu mewakili orang tuanya memberikan donasi.
“Farhan, bagaimana mungkin kamu bisa jatuh cinta dengan seorang gadis yang asal usulnya tak jelas seperti itu? Lagipula, kedudukan dia dan kita itu berbeda! Pokoknya Mami nggak sudi kalau kamu ada hubungan khusus dengan perempuan panti itu!” bentak Ibunda Mas Farhan saat aku dibawa ke rumahnya. Kata-kata menyakitkan tersebut tiba-tiba terngiang di telinga. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk meyakinkan orang tua Mas Farhan merestui pernikahan kami.
Setelah sekian tahun berlalu aku berhasil lulus kuliah dengan nilai terbaik. Kemudian, aku mendapat pekerjaan bonafid di salah satu perusahaan multinasional. Mungkin, karena itulah akhirnya hati kedua orang tua Mas Farhan luluh dan merestui pernikahan kami.
Namun, perjuangan cinta masih belum usai sebab hingga tahun kedua pernikahan, kami tak kunjung mendapat momongan. Berbagai cibiran, sindiran, dan pertanyaan menyakitkan sering dilayangkan. Tentu saja, aku yang menjadi kambing hitam.
Syukurlah kini, semua itu tinggal kenangan yang makin menguatkan cintaku dan Mas Farhan.
“Lho, kok kamu malah menangis?” tanya Mas Farhan sambil menghapus air mataku. Kata-katanya membuyarkan lamunanku tentang masa lalu.
“Ini tangisan bahagia,” jawabku seraya tersenyum dan memeluknya erat. Aku tak sabar ingin segera menyempurnakan kebahagiaan ini dengan kehadiran anak pertama kami yang akan segera lahir.
“Aku pergi dulu ya. Ketika pulang nanti, aku akan menemani kamu melahirkan anak kita.” Mas Farhan yang hendak pergi dinas ke luar kota selama tiga hari itu tampak berat meninggalkanku karena Dokter memberikan HPL (Hari Perkiraan Lahir) seminggu dari sekarang. Mas Farhan khawatir ia masih berada di luar kota saat aku melahirkan. Ia terus saja memelukku seolah tak ingin terlepas sedetik pun.
“Iya, Mas, kamu hati-hati ya. Bayi kita akan lahir ketika Papanya pulang,” jawabku sambil melepaskan pelukannya.
“Aku masih mau peluk kamu.”
“Udah berangkat sana! Nanti telat!” ucapku sambil mendorong lembut perutnya. Mas Farhan menatapku lekat-lekat. Sorot matanya memancarkan cinta yang begitu melimpah hingga membuatku merasa begitu istimewa.
**
Tepat di hari ulang tahunku, aku sudah menjadi seorang ibu dengan bayi masih berusia satu minggu. Hari ini hujan turun dengan hebatnya sedari pagi buta. Angin yang berembus cukup kencang sehingga membuat dedaunan melambai-lambai lalu berjatuhan sehingga mengotori tanah di bawahnya.
Aku menghirup dalam-dalam aroma khas hujan yang menguar dengan mata terpejam. Kurapatkan jaket dan melipat tanganku erat-erat di depan dada untuk menahan udara yang semakin menusuk. Beberapa kali melihat ponsel, tapi hanya kekecewaan yang kurasa. Tanpa sadar, mataku basah sambil menatap nanar benda pipih itu di genggaman.
"Kenapa kau menangis? Hari ini adalah hari ulang tahunmu, bukan?" Sebuah suara yang tiba-tiba terdengar membuyarkan lamunanku.
"Ya, tapi aku kecewa karena hingga detik ini, Mas Farhan tak juga mengucapkan selamat ulang tahun untukku," ucapku dengan suara serak. Aku menunduk sambil menghapus aliran air yang tak sabar keluar dari ujung mata.
"Mungkin dia sibuk?" ujar suara itu lagi.
Aku menggeleng. "Tidak mungkin! Biasanya, sesibuk apa pun, setiap tahun dialah orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun untukku."
"Mungkin dia benar-benar sedang banyak pekerjaan sehingga tak sempat mengucapkan selamat ulang tahun untukmu." Suara itu terus menggema seolah memenuhi tempat yang sepi itu.
"TIDAK! Dia sudah tak peduli lagi! Jelas-jelas dia telah mengabaikanku dan tak menganggapku ada!" Aku berteriak sambil menangis histeris di bawah hujan yang makin deras.
"Hey! Kau ini kenapa? Dia mungkin hanya tak sempat, lupa, atau apalah? Ayolah! Jangan lewah pikir! Berbaik sangkalah!" Suara itu tak kalah kencang berteriak tepat di samping telingaku.
Aku berjongkok di tempat yang basah sambil menutup kedua wajah dengan telapak tangan lalu menangis tersedu-sedu menatap gundukan tanah di depanku. Pakaianku basah dengan air hujan dan kotor dengan tanah merah. Mataku juga sembap karena terlalu sering menangis. Hatiku begitu pilu karena sebenarnya tahu, Mas Farhan tak akan pernah lagi bisa mengucapkan selamat ulang tahun untukku setelah pesawat yang ditumpangi Mas Farhan jatuh ketika pulang dinas waktu itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H