Aku menggeleng. "Tidak mungkin! Biasanya, sesibuk apa pun, setiap tahun dialah orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun untukku."
"Mungkin dia benar-benar sedang banyak pekerjaan sehingga tak sempat mengucapkan selamat ulang tahun untukmu." Suara itu terus menggema seolah memenuhi tempat yang sepi itu.
"TIDAK! Dia sudah tak peduli lagi! Jelas-jelas dia telah mengabaikanku dan tak menganggapku ada!" Aku berteriak sambil menangis histeris di bawah hujan yang makin deras.
"Hey! Kau ini kenapa? Dia mungkin hanya tak sempat, lupa, atau apalah? Ayolah! Jangan lewah pikir! Berbaik sangkalah!" Suara itu tak kalah kencang berteriak tepat di samping telingaku.
Aku berjongkok di tempat yang basah sambil menutup kedua wajah dengan telapak tangan lalu menangis tersedu-sedu menatap gundukan tanah di depanku. Pakaianku basah dengan air hujan dan kotor dengan tanah merah. Mataku juga sembap karena terlalu sering menangis. Hatiku begitu pilu karena sebenarnya tahu, Mas Farhan tak akan pernah lagi bisa mengucapkan selamat ulang tahun untukku setelah pesawat yang ditumpangi Mas Farhan jatuh ketika pulang dinas waktu itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H