Mohon tunggu...
dewi fortuna
dewi fortuna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Indonesia

sedang menempuh pendidikan magister di Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Publik

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Di Balik Waduk Lambo: Konflik Tanah Adat dan Teori Ekonomi Kelembagaan yang Terabaikan

27 Desember 2024   14:45 Diperbarui: 27 Desember 2024   14:38 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, masyarakat adat setempat menghadapi tantangan besar yang mengancam tanah leluhur mereka. Proyek Strategis Nasional (PSN) Waduk Lambo, yang dirancang untuk menyediakan irigasi, pengendalian banjir, dan pasokan air bersih, membutuhkan penggenangan ribuan hektar lahan adat. Bagi pemerintah, proyek ini adalah solusi untuk ketahanan air di salah satu wilayah paling kering di Indonesia. Namun, bagi masyarakat adat, tanah yang akan tenggelam bukan sekadar lahan melainkan warisan budaya, spiritual, dan ekonomi yang tak tergantikan.

Protes telah berlangsung selama bertahun-tahun bahkan sebelum pembangunan dimulai pada tahun 2021, dengan masyarakat adat mendirikan pos penjagaan dan melakukan aksi blokade di lokasi proyek. Mereka menolak proyek ini karena tanah ulayat yang menjadi pusat kehidupan mereka akan hilang, sementara kompensasi yang dijanjikan belum juga direalisasikan. Selain itu, masyarakat mengkhawatirkan rusaknya situs-situs sakral yang memiliki nilai historis dan spiritual tinggi. Konflik ini sendiri belum terdapat penyelesaian yang konkrit, belum juga konflik secara sosial dan ganti rugi selesai di Penlok I, pemerintah sudah memulai lagi pembangunan di Penlok II.

Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa pembangunan Proyek Strategis Nasional Waduk Lambo justru memicu konflik dengan masyarakat adat, dan bagaimana kelemahan institusi berperan dalam memperburuk situasi ini? Kita ketahui bahwa kasus ini sudah berlangsung lama, dimana telah dilakukan beberapa bentuk penyelasaian dengan beberapa forum, tetapi hasil yang di dapatkan nihil. Forum tersebut tidak membuahkan hasil yang mensejaterakan para masyarakat adat melainkan terdapat beberapa pertikaian kekerasan terjadi dengan para masyarakat adat.

Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana konflik antara pemerintah dan masyarakat adat di Waduk Lambo mencerminkan kegagalan institusi formal dalam melindungi hak properti adat. Tulisan ini juga akan menjelaskan bagaimana konflik ini pada kacamata teori ekonomi kelembagaan, untuk memahami akar permasalahan, serta rekomendasi untuk mengatasi permasalahan ini secara berkelanjutan, agar pembangunan PSN ini tidak terus mengorbankan masyarakat adat.

Proyek Strategis Nasional Waduk Lambo: Ambisi dan Kontroversi

Proyek Waduk Lambo, yang menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), dirancang untuk meningkatkan irigasi, mengatasi banjir, dan menyediakan pasokan air bersih di wilayah Nusa Tenggara Timur yang rawan kekeringan dan diharapkan dapat mendorong peningkatan pola tanam hingga produktivitas padi. Ambisi ini begitu mulai, akan tetapi dalam praktiknya malah memunculkan kontoroversi dengan banyaknya persoalan sosial, terutama bagi masyarakat adat yang hidup di lahan yang digunakan untuk proyek pembangunan tersebut. Dilansir oleh berita Mongabay (2024), PSN Bendungan Lambo perlu lahan sekitar 862,479 hektar melahap tiga desa di Nagekeo, yaitu, Rendubutowe, Labolewa dan Ulupulu. Gagasan proyek ini sudah muncul sejak 1999, tetapi baru aktif era Presiden Joko Widodo dan pembangunan resmi mulai 2021. Pemerintah sendiri menjanjikan ganti rugi sebesar Rp30.500 per meter, untuk setiap kerugian tanah yang diambil sesuai dengan ketetapan Badan Pertahanan Nasional Nagakeo. Faktanya di lapangan, masih terdapat banyak pihak yang belum mendapatkan ganti rugi, dan tidak hanya pertikaian ganti rugi, tetapi juga secara social di Penlok I. Belum selesai permasalahan di Penlok I, pemerintah telah melakukan pembangunan di Penlok II, bahkan di wilayah lain seperi Papua Selatan, saat ini tengah terancam dengan rencana pembangunan PSN food estate berupa konsesi lahan pertanian yang akan membutuhkan lahan seluas 2,29 juta hektar.

Dilansir oleh berita di estungkara (2024), terdapat beberapa dampak negative yang dihasilkan dari Pembangunan Waduk Lambo itu sendiri, yaitu:  hilangnya ruang untuk masyarakat adat menjalankan ritual mereka, hilangnya mata pencaharian utama masyarakat adat tersebut, mulai hilangnya relasi antar masyarakat adat, hingga terjadi kerusakan lingkungan di daerah tersebut. Penggusuran akibat PSN ini Lokasi untuk mata pencaharian mereka di ladang hilang, dan mendorong mereka untuk berpindah tempat. Hal ini sangat merugikan banyak pihak terutama Perempuan adat, yang dimana mereka tidak memiliki ruang yang lebih bebas dibanding laki-laki. Akibat pembangunan ini juga mendorong adanya konflik antar masyarakat adat yang setuju akan pembangunan untuk mendapatkan uang ganti rugi. Peran penting masyarakat adat sering kali menghadapi tantangan yang datang dari pemerintah itu sendiri. Dengan dalih program pembangunan yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan investasi, kenyataannya pengelolaan tanah dan sumber daya alam oleh masyarakat adat justru terganggu, bahkan berisiko terampas, sehingga mengancam tradisi serta keseimbangan ekologis yang mereka jaga.

Ketidakjelasan Hak Properti dan Lemahnya Tata Kelola

Permasalahan utama dari kontroversi pertikaian sosial pada PSN Waduk Lambo ini terletak dari tidak terjaminnya hak masyarakat adat, termasuk hak atas tanah mereka. Di Indonesia sendiri telah terdapat Lembaga Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan AMAN Indonesia (AMAN) yang telah berusaha agar RUU Masyarakat adat segera disetujui oleh pemerintah Indonesia. Rancangan ini telah ada sejak tahun 2009, akan tetapi dilansir oleh berita tirto (2024), Rancangan Undang-Undang ini hanya sempat dibahas pada tahun 2019 dan hingga saat ini belum ada kejelasan nasib. Telah banyak kasus perampasan tanah adat yang berujung pada kriminaslisasi hingga kekerasan. Permasalahan masayarakat adat ini sering tidak dipandang serius oleh pemerintah Aturan yang ada sekarang masih bersifat sektoral dan belum dapat melindungi Masyarakat adat, bahkan dapat dikatakan masih menyusahkan mereka dengan berbagai syarat.

Pada teori property rights oleh Demsetz (1967), menjelaskan bahwa hak properti berkembang sebagai respon terhadap kebutuhan untuk menginternalisasi eksternalitas, yaitu memastikan bahwa manfaat dan biaya dari penggunaan sumber daya ditanggung oleh pihak yang paling bertanggung jawab. Melihat semakin banyaknya kasus perampasan hak tanah adat ini, RUU Masyarakat Adat seharusnya segara dijadikan peraturan yang formal agar dimata hukum hak properi Masyarakat adat diakui dan dilindungi. Peraturan ini juga dapat mengurangi terjadinya konflik antara masyarakat adat dan pemerintah atau pihak swasta yang sering kali menggunakan tanah adat untuk proyek strategis seperti Waduk Lambo. Namun, ketiadaan kejelasan dalam pengesahan RUU ini menunjukkan adanya kegagalan institusi formal dalam beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat adat.

Demsetz menekankan bahwa perubahan institusi seperti pengesahan RUU tersebut seharusnya dilakukan sebelum konflik terjadi atau eksternalitas semakin membesar. Ketika tekanan dari pihak-pihak yang mendukung eksploitasi sumber daya lebih kuat dibandingkan aliansi pendukung masyarakat adat, evolusi hak properti menjadi terhambat. Konflik seperti PSN Waduk Lambo ini jika terus berlangsung, menciptakan eksternalitas yang lebih besar, seperti resistensi sosial, degradasi lingkungan, dan keterlambatan pembangunan proyek.

Tanah adat biasanya merupakan sumber daya alam yang dikelolah oleh masyarakat adat sering diatur oleh mekanisme adat yang melibatkan musyawarah dan pengawasan kolektif atau dapat disebut collective action. Ostrom, E. (1990), menyatakan pada teorinya bahwa pentingnya institusi lokal dalam mengelola sumber daya bersama (common-pool resources). Ia menunjukkan bahwa masyarakat lokal sering kali memiliki aturan adat yang efektif untuk menjaga keberlanjutan sumber daya mereka. Namun, intervensi pemerintah yang mengabaikan aturan adat ini melemahkan efektivitas dari collective action. Ketika institusi adat dilemahkan, kerusakan lingkungan dan ketegangan sosial menjadi konsekuensi yang tidak terhindarkan, sehingga eseimbangan ekologis yang dijaga melalui collective action masyarakat adat menjadi rusak, dan konflik antara tradisi lokal dan kepentingan pembangunan semakin tajam.

Ketidakjelasan Hak Memicu Biaya Sosial dan Ekonomi

Pada kasus Waduk Lambo ini, dapat dilihat bahwa desain kelembagaan yang lemah, ketidakjelasan hak properti, dan minimnya partisipasi masyarakat adat secara langsung meningkatkan biaya transaksi.Teori transaction cost dapat melihat bagaimana dampak biaya secara sosial dan ekonomi seperti yang dituliskan oleh Coase (1960) dan Williamson, Oliver E (1979). Biaya transaksi sendiri terdiri dari biaya negosiasi, pengawasan, dan penyelesaian konflik dalam interaksi ekonomi. Adapun dapat dilihat bagaimana dampak kasus tersebut dalam biaya sosial dan biaya ekonomi, seperti penejelasan berikut.

a. Biaya Sosial

Biaya ini mengacu pada dampak negatif yang dialami oleh masyarakat sebagai akibat dari pengelolaan sumber daya atau proyek pembangunan yang tidak memadai. Pada kasus ini terdapat biaya negosiasi dan konflik, yang diakibatkan dari ketidakjelasan hak properti meningkatkan resistensi dan memperbesar biaya penyelesaian sengketa. Hal ini termasuk dari biaya Masyarakat protes, aksi blockade, serta demonstasi yang dilakukan dengan pemerintah. Ada juga biaya partisipasi, dimana dalam sistem yang buruk, partisipasi minim meningkatkan risiko resistens. Dilihat dari sudah adanya perpecahan di pihak masyarakat adat, yang beberapa memilih untuk menerima keputusan pemerintah. Masyarakat adat akhirnya merasa teralienasi, memicu resistensi yang memakan waktu dan sumber daya lebih besar.

b. Biaya Ekonomi

Biaya ekonomi biasanya mengacu dampak finansial yang dialami oleh pemerintah, investor, dan masyarakat akibat konflik atau pengelolaan proyek yang buruk. Pada kasus Waduk Lambo ini, resistensi masyarakat adat dan gugatan hukum menyebabkan proyek tertunda, yang meningkatkan biaya operasional pemerintah dan investor. Hal ini sempat terjadi sebelum proyek dilaksanakan pada tahun 2001-2004, tetapi proyek Kembali disosialisasikan pada tahun 2015 dan dimulai di tahun 2021. Adanya biaya adaptasi dan eksekusi, karna penundaan mengakibatkan kerugian ekonomi karena manfaat proyek (irigasi, pengendalian banjir) tidak dapat segera dinikmati. Terdapat juga biaya kontrak yang berupa kompensasi bagi masyarakat terdampak, tetapi banyak yang merasa kompensasi tersebut tidak mencukupi atau belum dibayarkan. Jika konflik menjadi berkepanjangan dan penundaan proyek mengurangi kepercayaan investor terhadap keberhasilan proyek strategis. Hal ini disebut biaya ekspektasi, yang berdampak proyek berisiko kehilangan dukungan finansial atau pembengkakan anggaran untuk menyelesaikan masalah-masalah terkait.

Best Practice Kasus Internasional

Kasus Waduk Lambo ini sudah melibatkan kekerasan, pendekatan sederhana seperti negosiasi memang menjadi kurang efektif. Dalam situasi ini, penyelesaian memerlukan strategi yang lebih komprehensif dan terintegrasi. Belajar dari kasus-kasus lain yang telah menghadapi situasi serupa, seperti kasus tanah adat Australia dengan Aboriginal Land Rights Acts. Pemerintah mengakui kesalahan historis yang dilakukan terhadap masyarakat adat, termasuk pengabaian hak dan kekerasan yang dialami (Central Land Council, 2019). Pemerintah juga membentuk komisi independen yang bertugas untuk meninjau ulang konflik, memberikan keadilan melalui restitusi tanah, dan memastikan hak adat diakui secara sah. Adanya mekanisme perdamaian berbasis budaya adat dengan melibatkan tokoh adat yang dihormati. Kasus Waduk Lambo dapat mengadopsi Pelajaran dengan mengedepankan simbolis dan konkret (pengakuan dan kompensasi) membangun kepercayaan yang rusak akibat kekerasan.

Terdapat juga kasus pada paper Dakota Access Pipeline (2017) di Amerika Serikat, di mana suku Sioux melawan proyek pipa minyak yang melintasi tanah leluhur mereka, menjadi contoh penting. Suku Sioux akhirnya membawa kasus mereka ke forum internasional, termasuk PBB, dengan dasar pelanggaran prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). Advokasi secara global dilakukan untuk menekan pemerintah dan perusahaan yang terlibat, sehingga proyek dihentikan sementara untuk evaluasi ulang dampaknya terhadap masyarakat adat. Melibatkan pihak ketiga yang netral, seperti badan hukum internasional, dapat membantu mengurangi bias dan eskalasi konflik.

Pendekatan-pendekatan yang telah dilakukan sebelumnya, dapat menjadi beberapa pelajaran untuk Indonesia dapt mengaplikasikannya dalam menyelesaikan konflik yang terjadi sekarang.

Rekomendasi Kebijakan pada Konflik PSN Waduk Lambo

Berdaskan kasus-kasus internasional konflik PSN Waduk Lambo terdapat beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan, antara lain:

1. Pengakuan Formal Hak Masyarakat Adat

Pemerintah terutama presiden dan DPR harus segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang mengatur pengakuan formal atas tanah ulayat masyarakat adat. Hal ini dapat didukung dengan penguatan lembaga lokal, seperti pemangku adat, untuk memiliki otoritas yang diakui dalam pengelolaan tanah adat.

2. Konsultasi dan Partisipasi yang Inklusif

Dalam perundingan dapar menerapkan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), untuk memastikan masyarakat adat terlibat dalam setiap tahap proyek, mulai dari perencanaan hingga implementasi. Dapat melibatkan mediator independen untuk menengahi antara masyarakat adat, pemerintah, dan pihak investor.

3. Pembentukan Skema Kompensasi dan Relokasi yang Adil

Pemerintah harus bersifat transparan dan tepat waktu dalam menyediakan kompensasi, agar masyarakat adat sendiri memiliki kepercayaan terhadap pemerintah. Alternatif relokasi harus mencakup akses ke layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan peluang ekonomi baru yang setara.

4. Monitoring dan Evaluasi Proyek oleh Lembaga Independen

Sekarang ini memang sudah ada Lembaga AMAN yang diupayakan dapat mengkoordinir hak masyarakat adat. Akan tetapi lebih baik juga jika ada lembaga baru atau penguatan lembaga saat ini yang independen untuk mengawasi implementasi kebijakan tanah adat, termasuk penyelesaian konflik dan pelaksanaan proyek. Dukungan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan organisasi internasional dapat membantu memperkuat posisi masyarakat adat dalam memperjuangkan hak mereka atas tanah, seperti pada kasus di Kinipan, Kalimantan Tengah. Publikasikan laporan secara berkala tentang dampak sosial dan lingkungan dari proyek.

Beberapa rekomendasi diatas, dapat dilakukan jika mayoritas pihak aktif terlibat dan tidak besifat pasif. Transparansi juga menjadi aspek paling penting agar kebijakan tersebut dapat dilaksanakan. Perlu juga adanya penyebarluasan informasi secara luas terhadap setiap masyarakat di Indonesia, untuk siap mendukung dalam perolahan hak yang adil bagi masyarakat adat.

Penutup

Kasus Waduk Lambo menjadi cerminan nyata bagaimana konflik tanah adat sering kali berakar pada ketidakseimbangan antara kepentingan pembangunan nasional dan pengakuan hak masyarakat lokal. Kekerasan dan resistensi yang terjadi bukan sekadar reaksi spontan, tetapi hasil dari kelemahan institusi formal dalam mengelola hak properti, minimnya partisipasi inklusif, dan pengabaian nilai-nilai adat yang melekat pada tanah ulayat. Belajar dari kasus serupa di luar negeri, jelas bahwa solusi terbaik membutuhkan pendekatan yang menyeluruh: pengakuan formal hak tanah adat, konsultasi yang bermakna, kompensasi yang adil, serta pendampingan dari lembaga independen untuk memastikan transparansi dan keadilan. Jika tidak ada reformasi kelembagaan yang memadai, proyek strategis seperti Waduk Lambo berisiko menciptakan ketidakstabilan sosial yang lebih besar dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Pendekatan yang berfokus pada keadilan, keberlanjutan, dan penghormatan terhadap hak-hak adat menjadi kunci untuk menyelesaikan konflik ini secara damai dan bermartabat.

Sumber:

Central Land Council. (2019). 40 Years of Land Rights: Reflecting on the Aboriginal Land Rights Act. Alice Springs: CLC.

Coase, Ronald H. 1960. The Problem of Social Cost, Journal of Law and Economics, 3 (October), pp. 1-44.

Dakota Access Pipeline Case Study. (2017). Indigenous Land Rights and Environmental Advocacy. Environmental Justice Journal, 14(3), 22-35.           

Demsetz, Harold. 1967. Toward a Theory of Property Rights, American Economic Review, 57, pp. 347-  359.

Melya. (2024). Lima Dampak PSN Bagi Kelangsungan Hidup Masyarakat Adat. Diakses pada: www.estungkara.id.      

Nur Fajar, M. (2024). Tanah Ulayat Terancam, RUU Masyarakat Adat Malah Ditelantarkan. Diakses pada: www.tirto.id.

Ostrom, E. (1990). Chapter 1 & 2, Governing the commons: The evolution of institutions for collective action. Cambridge university press

Tamimi, M. (2024). Nasib Masyarakat Adat Terdampak Proyek Bendungan Lambo [1]. Diakses pada: www.mongabay.co.id.

Williamson, Oliver E. (1979). Transaction Cost Economics: The Governance of Contractual Relations. Journal of Law and Economics, 22, 233-61.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun