masyarakat adat setempat menghadapi tantangan besar yang mengancam tanah leluhur mereka. Proyek Strategis Nasional (PSN) Waduk Lambo, yang dirancang untuk menyediakan irigasi, pengendalian banjir, dan pasokan air bersih, membutuhkan penggenangan ribuan hektar lahan adat. Bagi pemerintah, proyek ini adalah solusi untuk ketahanan air di salah satu wilayah paling kering di Indonesia. Namun, bagi masyarakat adat, tanah yang akan tenggelam bukan sekadar lahan melainkan warisan budaya, spiritual, dan ekonomi yang tak tergantikan.
Di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur,Protes telah berlangsung selama bertahun-tahun bahkan sebelum pembangunan dimulai pada tahun 2021, dengan masyarakat adat mendirikan pos penjagaan dan melakukan aksi blokade di lokasi proyek. Mereka menolak proyek ini karena tanah ulayat yang menjadi pusat kehidupan mereka akan hilang, sementara kompensasi yang dijanjikan belum juga direalisasikan. Selain itu, masyarakat mengkhawatirkan rusaknya situs-situs sakral yang memiliki nilai historis dan spiritual tinggi. Konflik ini sendiri belum terdapat penyelesaian yang konkrit, belum juga konflik secara sosial dan ganti rugi selesai di Penlok I, pemerintah sudah memulai lagi pembangunan di Penlok II.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa pembangunan Proyek Strategis Nasional Waduk Lambo justru memicu konflik dengan masyarakat adat, dan bagaimana kelemahan institusi berperan dalam memperburuk situasi ini? Kita ketahui bahwa kasus ini sudah berlangsung lama, dimana telah dilakukan beberapa bentuk penyelasaian dengan beberapa forum, tetapi hasil yang di dapatkan nihil. Forum tersebut tidak membuahkan hasil yang mensejaterakan para masyarakat adat melainkan terdapat beberapa pertikaian kekerasan terjadi dengan para masyarakat adat.
Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana konflik antara pemerintah dan masyarakat adat di Waduk Lambo mencerminkan kegagalan institusi formal dalam melindungi hak properti adat. Tulisan ini juga akan menjelaskan bagaimana konflik ini pada kacamata teori ekonomi kelembagaan, untuk memahami akar permasalahan, serta rekomendasi untuk mengatasi permasalahan ini secara berkelanjutan, agar pembangunan PSN ini tidak terus mengorbankan masyarakat adat.
Proyek Strategis Nasional Waduk Lambo: Ambisi dan Kontroversi
Proyek Waduk Lambo, yang menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), dirancang untuk meningkatkan irigasi, mengatasi banjir, dan menyediakan pasokan air bersih di wilayah Nusa Tenggara Timur yang rawan kekeringan dan diharapkan dapat mendorong peningkatan pola tanam hingga produktivitas padi. Ambisi ini begitu mulai, akan tetapi dalam praktiknya malah memunculkan kontoroversi dengan banyaknya persoalan sosial, terutama bagi masyarakat adat yang hidup di lahan yang digunakan untuk proyek pembangunan tersebut. Dilansir oleh berita Mongabay (2024), PSN Bendungan Lambo perlu lahan sekitar 862,479 hektar melahap tiga desa di Nagekeo, yaitu, Rendubutowe, Labolewa dan Ulupulu. Gagasan proyek ini sudah muncul sejak 1999, tetapi baru aktif era Presiden Joko Widodo dan pembangunan resmi mulai 2021. Pemerintah sendiri menjanjikan ganti rugi sebesar Rp30.500 per meter, untuk setiap kerugian tanah yang diambil sesuai dengan ketetapan Badan Pertahanan Nasional Nagakeo. Faktanya di lapangan, masih terdapat banyak pihak yang belum mendapatkan ganti rugi, dan tidak hanya pertikaian ganti rugi, tetapi juga secara social di Penlok I. Belum selesai permasalahan di Penlok I, pemerintah telah melakukan pembangunan di Penlok II, bahkan di wilayah lain seperi Papua Selatan, saat ini tengah terancam dengan rencana pembangunan PSN food estate berupa konsesi lahan pertanian yang akan membutuhkan lahan seluas 2,29 juta hektar.
Dilansir oleh berita di estungkara (2024), terdapat beberapa dampak negative yang dihasilkan dari Pembangunan Waduk Lambo itu sendiri, yaitu: Â hilangnya ruang untuk masyarakat adat menjalankan ritual mereka, hilangnya mata pencaharian utama masyarakat adat tersebut, mulai hilangnya relasi antar masyarakat adat, hingga terjadi kerusakan lingkungan di daerah tersebut. Penggusuran akibat PSN ini Lokasi untuk mata pencaharian mereka di ladang hilang, dan mendorong mereka untuk berpindah tempat. Hal ini sangat merugikan banyak pihak terutama Perempuan adat, yang dimana mereka tidak memiliki ruang yang lebih bebas dibanding laki-laki. Akibat pembangunan ini juga mendorong adanya konflik antar masyarakat adat yang setuju akan pembangunan untuk mendapatkan uang ganti rugi. Peran penting masyarakat adat sering kali menghadapi tantangan yang datang dari pemerintah itu sendiri. Dengan dalih program pembangunan yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan investasi, kenyataannya pengelolaan tanah dan sumber daya alam oleh masyarakat adat justru terganggu, bahkan berisiko terampas, sehingga mengancam tradisi serta keseimbangan ekologis yang mereka jaga.
Ketidakjelasan Hak Properti dan Lemahnya Tata Kelola
Permasalahan utama dari kontroversi pertikaian sosial pada PSN Waduk Lambo ini terletak dari tidak terjaminnya hak masyarakat adat, termasuk hak atas tanah mereka. Di Indonesia sendiri telah terdapat Lembaga Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan AMAN Indonesia (AMAN) yang telah berusaha agar RUU Masyarakat adat segera disetujui oleh pemerintah Indonesia. Rancangan ini telah ada sejak tahun 2009, akan tetapi dilansir oleh berita tirto (2024), Rancangan Undang-Undang ini hanya sempat dibahas pada tahun 2019 dan hingga saat ini belum ada kejelasan nasib. Telah banyak kasus perampasan tanah adat yang berujung pada kriminaslisasi hingga kekerasan. Permasalahan masayarakat adat ini sering tidak dipandang serius oleh pemerintah Aturan yang ada sekarang masih bersifat sektoral dan belum dapat melindungi Masyarakat adat, bahkan dapat dikatakan masih menyusahkan mereka dengan berbagai syarat.
Pada teori property rights oleh Demsetz (1967), menjelaskan bahwa hak properti berkembang sebagai respon terhadap kebutuhan untuk menginternalisasi eksternalitas, yaitu memastikan bahwa manfaat dan biaya dari penggunaan sumber daya ditanggung oleh pihak yang paling bertanggung jawab. Melihat semakin banyaknya kasus perampasan hak tanah adat ini, RUU Masyarakat Adat seharusnya segara dijadikan peraturan yang formal agar dimata hukum hak properi Masyarakat adat diakui dan dilindungi. Peraturan ini juga dapat mengurangi terjadinya konflik antara masyarakat adat dan pemerintah atau pihak swasta yang sering kali menggunakan tanah adat untuk proyek strategis seperti Waduk Lambo. Namun, ketiadaan kejelasan dalam pengesahan RUU ini menunjukkan adanya kegagalan institusi formal dalam beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat adat.
Demsetz menekankan bahwa perubahan institusi seperti pengesahan RUU tersebut seharusnya dilakukan sebelum konflik terjadi atau eksternalitas semakin membesar. Ketika tekanan dari pihak-pihak yang mendukung eksploitasi sumber daya lebih kuat dibandingkan aliansi pendukung masyarakat adat, evolusi hak properti menjadi terhambat. Konflik seperti PSN Waduk Lambo ini jika terus berlangsung, menciptakan eksternalitas yang lebih besar, seperti resistensi sosial, degradasi lingkungan, dan keterlambatan pembangunan proyek.