Mungkin, perjalanan berjam-jam di atas bendi itu salah satunya telah membentuk karakter Hatta menjadi seorang pejuang yang tangguh. Medan terjal tak menghambat langkahnya.
Kita tahu bagaimana terjal kehidupan yang ditempuh Bung Hatta selama masa penjajahan dulu. Dia dibuang ke Boven Digoel, Papua oleh penjajah Belanda pada 1932, sekembalinya dari Belanda karena aktivitasnya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Kemudian dia dipindahkan ke Bandaneira, Maluku. Padahal jika ingin hidup enak, penjajah Belanda telah menawarinya jabatan sepulang dari sekolah di Belanda. Bung Hatta bergeming dengan tawaran itu. Dia bukan orang yang akan menukar idealismenya dengan kenikmatan duniawi. Dia bukan pengkhianat bangsanya.
Seperti Hatta juga bergeming dengan dua kutub berbeda yang saling menarik dalam lingkaran kehidupannya. Dia memiliki pilihan hidup sendiri. Tidak menjadi seorang sufistik seperti keluarga Ayahnya ataupun reformis seperti pihak Ibunya.
Hatta adalah Bung Hatta yang kita kenal. Dia seorang nasionalis. Meskipun sejak lahir Hatta selalu mendayung di antara dua tradisi yang nampak bertolak belakang,Â
Ignas Kleden dalam tulisannya yang berjudul Mendayung di Antara Asketik dan Politik, menggambarkan bagaimana sejak kecil Hatta terbiasa hidup di dua kutub: tradisi sufi di satu pihak dan modernitas, ilmu pengetahuan, bisnis, dan politik di pihak lain.
Hatta besar dalam lingkungan religius yang sufistik sekaligus pengusaha yang modernis. Dalam pertentangan dua kutub itu, kemudian hari Hatta memilih jalannya sendiri. Ia memilih gerakan nasionalis daripada gerakan Islam baik yang sifatnya tradisional (sufistik) maupun modernis (reformis).
Satu lagi, Bung Hatta adalah pria sejati. Dia menepati janjinya. Dia menikah pada usia 43 tahun ketika Indonesia sudah merdeka dan dia sudah menjadi wakil presiden.
Bung Hatta menikahi seorang wanita yang baru berusia 19 tahun, 24 tahun lebih muda darinya: Rahmi Rahim. Dari rahim Rahmi hadir tiga orang srikandi: Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriyah.