Seorang anak lelaki kecil berdiri di depan istal. Dia mengenakan sarung dan peci, nampaknya akan pergi mengaji. Sebuah bendi dan seekor kuda jantan ditambatkan di depannya telah siap berangkat. Kusirnya seorang lelaki paruh baya.
"Capeklah, amak lah manunggu, Hatta,"lamat-lamat kudengar suara hangat sang kusir diterbangkan angin dari abad 19 silam.
Hatta adalah Bung Hatta. Nama aslinya Mohammad Attar. Dia lahir pada 12 Agustus 1902, ketika Indonesia sedang dalam belenggu kolonialisme. Entah mengapa, Attar akhirnya dilafalkan dengan Hatta. Mungkin itu pengaruh lidah orang Minang.
Anak lelaki kecil itu memang beruntung terlahir dari keluarga yang mapan dan terdidik. Kakek dari sebelah Ibunya, yang biasa dipanggilnya Pak Gaek, Ilyas Bagindo Marah, adalah seorang saudagar. Dia seorang pengusaha angkutan pos antara Bukittinggi dan Lubuk Sikaping. Untuk menjalankan usahanya dia menggunakan bendi sebagai angkutan. Pantas saja banyak kuda di istalnya, batinku.
Sementara Kakek dari sebelah Ayahnya , Abdurahman Batuhampar yang biasa disapa Syaikh Batuhampar dikenal sebagai ulama pendiri surau di Batuhampar, Payakumbuh.
Surau itu menjadi tempat Hatta kecil belajar mengaji pada Pamannya, Syaikh Arsad. Ketekunan Hatta belajar agama Islam ini terus berlanjut bahkan ketika ia sudah bersekolah di Padang.
Aku mulai berhitung, berapa lama waktu yang diperlukan untuk menempuh perjalanan dari Bukittinggi ke Batuhampar saat itu? Kurogoh saku. Ada sebuah alat canggih untuk mengeceknya, ya, google maps!
Jarak Bukittinggi ke Batuhampar itu sekitar 23 km. Berkendara dengan mobil waktu yang dibutuhkan sekitar 41 menit. Entah butuh waktu berapa lama jika naik bendi dan melewati jalan Bukittinggi berkelok-kelok dengan hutan lebat mengelilinginya saat itu.
Anak kecil ini pemilik tekad kuat. Kutatap wajahnya. Dia berwajah tenang dengan sorot mata fokus. Khas seorang pemikir. Suatu saat pemikirannya akan mewarnai sejarah Indonesia. Namanya akan tertoreh dalam tinta emas peradaban.
Anak lelaki kecil itu segera naik ke atas Bendi yang akan membawanya menuju Batuhampar. Aku menatap tanpa berkedip, hingga bendi menghilang di tikungan jalan. Surau yang dituju Hatta kecil saat itu menjadi tempat belajar kelompok tarekat yang terkenal di Bukittinggi dan Payakumbuh.