Sementara Kakek dari sebelah Ayahnya , Abdurahman Batuhampar yang biasa disapa Syaikh Batuhampar dikenal sebagai ulama pendiri surau di Batuhampar, Payakumbuh. Surau itu menjadi tempat Hatta kecil belajar mengaji pada Pamannya, Syaikh Arsad. Ketekunan Hatta belajar agama Islam ini terus berlanjut bahkan ketika ia sudah bersekolah di Padang.
Aku mulai berhitung, berapa lama waktu yang diperlukan untuk menempuh perjalanan dari Bukittinggi ke Batuhampar saat itu? Â Kurogoh saku. Ada sebuah alat canggih untuk mengeceknya, ya, google maps! Jarak Bukittinggi ke Batuhampar itu sekitar 23 km. Berkendara dengan mobil waktu yang dibutuhkan sekitar 41 menit. Entah butuh waktu berapa lama jika naik bendi dan melewati jalan Bukittinggi berkelok-kelok dengan hutan lebat mengelilinginya saat itu. Anak kecil ini pemilik tekad kuat. Kutatap wajahnya. Dia berwajah tenang dengan sorot mata fokus. Khas seorang pemikir. Suatu saat pemikirannya akan mewarnai sejarah Indonesia. Namanya akan tertoreh dalam tinta emas peradaban.
Anak lelaki kecil itu segera naik ke atas Bendi yang akan membawanya menuju Batuhampar. Aku menatap tanpa berkedip, hingga bendi menghilang di tikungan jalan. Surau yang dituju Hatta kecil saat itu menjadi tempat belajar kelompok tarekat yang terkenal di Bukittinggi dan Payakumbuh. Mungkin, perjalanan berjam-jam di atas bendi itu salah satunya telah membentuk karakter Hatta menjadi seorang pejuang yang tangguh. Medan terjal tak menghambat langkahnya.
Kita tahu bagaimana terjal kehidupan yang ditempuh Bung Hatta selama masa penjajahan dulu. Dia dibuang ke Boven Digoel, Papua oleh penjajah Belanda pada 1932, sekembalinya dari Belanda karena aktivitasnya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kemudian dia dipindahkan ke Bandaneira, Maluku. Padahal jika ingin hidup enak, penjajah Belanda telah menawarinya jabatan sepulang dari sekolah di Belanda. Bung Hatta bergeming dengan tawaran itu. Dia bukan orang yang akan menukar idealismenya dengan kenikmatan duniawi. Dia bukan pengkhianat bangsanya.
Seperti Hatta juga bergeming dengan dua kutub berbeda yang saling menarik dalam lingkaran kehidupannya. Dia memiliki pilihan hidup sendiri. Tidak menjadi seorang sufistik seperti keluarga Ayahnya ataupun reformis seperti pihak Ibunya. Hatta adalah Bung Hatta yang kita kenal. Dia seorang nasionalis. Meskipun sejak lahir  Hatta selalu mendayung di antara dua tradisi yang nampak bertolak belakang,Â
Ignas Kleden dalam tulisannya yang berjudul Mendayung di Antara Asketik dan Politik, Â menggambarkan bagaimana sejak kecil Hatta terbiasa hidup di dua kutub: tradisi sufi di satu pihak dan modernitas, ilmu pengetahuan, bisnis, dan politik di pihak lain. Hatta besar dalam lingkungan religius yang sufistik sekaligus pengusaha yang modernis. Dalam pertentangan dua kutub itu, kemudian hari Hatta memilih jalannya sendiri. Ia memilih gerakan nasionalis daripada gerakan Islam baik yang sifatnya tradisional (sufistik) maupun modernis (reformis).
Satu lagi, Bung Hatta adalah pria sejati. Dia  menepati janjinya. Dia menikah pada usia 43 tahun ketika Indonesia sudah merdeka dan dia sudah menjadi wakil presiden. Bung Hatta menikahi seorang wanita yang baru berusia 19 tahun, 24 tahun lebih muda darinya: Rahmi Rahim. Dari rahim Rahmi hadir tiga orang srikandi: Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriyah.
Kubayangkan betapa bangga keturunannya menyandang nama Bung Hatta dalam darah mereka. Seorang founding fathers yang kepergiannya ditangisi jutaan masyarakat Indonesia. Jutaan untaian doa menembus pintu langit saat itu. Seperti banggaku bisa menyapa anak kecil yang kelak ikut melukis sejarah Indonesia. Sebuah rasa haru menyeruak ke dalam dada, jadi buncahan yang siap meleleh, hingga ketika sosok anak kecil itu lewat di depanku, kuraih lengannya.