Karena memang ada pasal-pasal dalam UU KUP baru yang memberi peluang kepada Wajib Pajak untuk memperkarakan fiskus. Kondisi ini dapat menjadi demotivasi bagi petugas pajak untuk melangkah progresif mengejar target penerimaan pajak. Sebaliknya ketika seorang petugas tersandung kasus pidana, baik karena alpa maupun kesengajaan maka dia harus mencari perlindungan hukum sendiri. Â
Dalam Pasal 6 Peraturan DirekturJenderal Pajak Nomor PER-14/PJ./2011 tentang Bantuan Hukum di Lingkungan DJP menyebutkan: Bantuan Hukum tidak dapat diberikan kepada Pejabat, Pegawai, Pensiunan dan/atau Mantan Pegawai yang berstatus sebagai tersangka/terdakwa. Sehingga ketika seorang fiskus menghadapi masalah hukum pidana, maka dia harus menyewa advokat sendiri karena institusi tidak menyediakannya.
Aturan ini memang mengacu dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.01/2012 tentang Bantuan Hukum di Lingkungan Kementerian Keuangan. Sementara ada batasan dalam Undang-Undang Advokat sendiri bahwa Advokat tidak berstatus PNS atau pejabat negara, dan DJP sebagai unit eselon 1 di lingkungan Kementerian Keuangan harus tunduk pada semua aturan birokrasi itu.
Bisa dibayangkan bagaimana semua aturan birokrasi ini dapat menjadi penghambat kinerja para pegawai pajak, karena ini bisa mematikan inovasi dalam bekerja. Bisa-bisa semua akan mencari cara aman saja. Aman hingga masa pensiun tiba. Siapa yang mau coba tersangkut kasus, harus merogoh kocek sendiri pula. Kalau begitu jangan berharap banyak penerimaan pajak itu akan tercapai tanpa terobosan-terobosan baru, bukan begitu?
Belum lagi keterbatasan dana taktis di lapangan, sehingga ketika tugas-tugas tertentu yang mengharuskan pendampingan di lapangan tidak bisa leluasa dilakukan. Maka tak aneh ketika Jurusita Pajak, Â Parada Toga Fransriano Siahaan harus menyampaikan Surat Paksa ke Wajib Pajak hanya ditemani Satuan Pengamanan (Satpam) berstatus honorer, tak aneh.
Bahkan hal yang biasa ketika seorang Jurusita Pajak mengantarkan Surat Paksa dan SPMP bernilai miliaran Rupiah sendiri saja, tanpa dikawal. Coba saja tanya pada para Jurusita Pajak di seluruh KPP di Indonesia itu. Karena ketika harus dikawal, berarti ada dana taktis yang harus dikeluarkan, dan itu menyangkut DIPA...tidak main-main lho. Nanti jika diaudit dana itu akan ditanyakan, untuk mengawal siapa? Sekali waktu saya tanya ke seorang kawan Jurusita Pajak, tak takut mengantarkan Surat Paksa sendiri ke tempat Wajib Pajak? Jawabnya: Tuhan bersama saya. Hiks. (saya menangis mengingat dua pegawai pajak ditikam sadis).
Tewasnya seorang Jurusita Pajak dan temannya pegawai honorer itu, semoga jadi momentum bagi pimpinan dan pemerintah untuk lebih peduli pada perangkat hukum yang mengayomi pegawai DJP, tidak hanya dituntut dengan target pajak yang tinggi saja.
Sungguh besar pengorbanan mereka, juga pengorbanan pegawai-pegawai pajak itu semua dalam mengumpulkan pundi-pundi penerimaan negara. Meski dibatasi semua aturan yang kurang kondusif di lapangan, mereka tetap dengan slogan: DJP Bisa! Luar biasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H