[caption caption="Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi (Ambaranie Nadia K.M/Kompas)"][/caption]“Kamu tahu siapa saya? Saya bisa hancurkan karier kamu!” Kata-katanya penuh arogansi dan begitu mengancam.
Sepotong fragmen itu terjadi di suatu pagi di lantai 3 sebuah ruang konsultasi Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Lelaki penuh amarah itu mengaku mewakili salah satu Wajib Pajak yang terdaftar di KPP itu. Setelah puas menumpahkan unek-unek, lelaki itu pergi meninggalkan amarah yang telah tumpah. Tinggal si petugas yang masih terduduk lemas.
Usut punya usut ternyata si tamu itu tidak puas atas Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang telah diterbitkan KPP itu. Padahal SKP sebagai sebuah produk hukum yang dikeluarkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak pastinya telah melalui prosedur pemeriksaan yang baku dan komprehensif, tidak langsung terbit. Pastinya Wajib Pajak itu sendiri telah dipanggil, dan telah melewati jenjang konfirmasi data, pembuktian data, sanggahan, dll, sampai SKP itu diterbitkan.
Sebenarnya bagi para petugas pajak yang bersinggungan langsung dengan Wajib Pajak (Jurusita Pajak, Fungsional Pemeriksa, dan Account Representative), gesekan itu akan selalu ada. Itu sebenarnya lagu lama. Dicaci-maki itu biasa, itu resiko pekerjaan sebagai pengumpul pundi negara, mungkin itu juga dalam pikiran petugas pajak yang telah dimaki. Meski sebagai Account Representative dia berusaha menjelaskan kepada utusan Wajib Pajak, bahwa SKP itu produk pemeriksaan yang dikeluarkan Fungsional Pemeriksa Pajak, bukan dia. Tapi bagi Wajib Pajak yang butuh saluran untuk melepas unek-unek itu enggak penting. Siapa pun dia orang pajak, ya orang pajak.
Wajib Pajak dan petugas pajak itu memang akan selalu di jalan yang berbeda, takkan pernah sama. Petugas pajak adalah refresentasi dari negara. Mereka bertugas mengumpulkan penerimaan pajak melalui penegakan hukum. Pekerjaan mereka dilindungi oleh Undang-Undang. Sementara Wajib Pajak merupakan Subjek Pajak yang atas penghasilannya akan menjadi Objek Pajak, dan ketentuannya ada dalam Undang-Undang Perpajakan. Jika masing-masing menyadari perannya, maka gesekan itu bisa diminimalisir. Idealnya begitu.
Terbunuhnya seorang Jurusita Pajak, Parada Toga Fransriano Siahaan dan temannya, Sozanolo Lase seorang pegawai honorer di Gunung Sitoli, Nias beberapa hari lalu saat sedang menagih Wajib Pajak yang menunggak hutang pajak, sebenarnya hanyalah puncak sebuah gunung es.
Banyak petugas-petugas pajak yang selama ini menerima ancaman dan intimidasi, terutama Jurusita Pajak yang berurusan langsung dengan tunggakan pajak. Tapi jika kekerasan bahkan sampai pembunuhan yang terjadi, maka ini tak bisa dibiarkan. Dan yang jadi pertanyaannya adalah: kenapa Wajib Pajak itu begitu enteng menghilangkan nyawa petugas yang jelas-jelas sedang melakukan tugas negara? Kenapa Wajib Pajak itu menjadi begitu berani, karena setelah itu dia segera mengakui kesalahannya dan menyerahkan diri. Seakan dia hendak mengirimkan pesan: Anda berani menyita harta saya, nyawa taruhannya!
Salah satunya ada sebuah perubahan fundamental yang terjadi, yang telah membuat Wajib Pajak sekarang ini lebih berani dan lantang dalam menyuarakan haknya, berani menggugat jika merasa sedikit saja tidak nyaman. Apa itu?
Yaitu dengan adanya perubahan yang signifikan terhadap kedudukan Wajib Pajak dalam hukum perpajakan yang baru. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Perpajakan (UU KUP) yang baru yaitu UU No 16 Tahun 2009, memang menempatkan petugas pajak (fiskus) dan Wajib Pajak itu setara secara hukum. Berbeda dengan UU KUP yang lama lebih cenderung state friendly, di mana hukum lebih berpihak pada negara.
UU KUP baru dengan konsep bussiness friendly-nya, maka WP memiliki hak hukum yang lebih luas. Inilah yang telah mendorong Wajib Pajak lebih berani. Positifnya adalah WP lebih sadar akan haknya. Tetapi di sisi yang lain WP juga menjadi lebih berani dalam melakukan perlawanan hukum kepada fiskus.
Misalnya saat Account Reprensentative menerbitkan Surat Himbauan, atau Fungsional Pemeriksa menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan (SP2), atau Juru Sita Pajak Negara (JSPN) menyampaikan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP) kepada WP, ketika WP tidak berkenan maka mereka akan mengadukan fiskus ke Aparat Penegak Hukum, apakah ke kepolisian, kejaksaan, kehakiman, bahkan KPK.
Karena memang ada pasal-pasal dalam UU KUP baru yang memberi peluang kepada Wajib Pajak untuk memperkarakan fiskus. Kondisi ini dapat menjadi demotivasi bagi petugas pajak untuk melangkah progresif mengejar target penerimaan pajak. Sebaliknya ketika seorang petugas tersandung kasus pidana, baik karena alpa maupun kesengajaan maka dia harus mencari perlindungan hukum sendiri.
Dalam Pasal 6 Peraturan DirekturJenderal Pajak Nomor PER-14/PJ./2011 tentang Bantuan Hukum di Lingkungan DJP menyebutkan: Bantuan Hukum tidak dapat diberikan kepada Pejabat, Pegawai, Pensiunan dan/atau Mantan Pegawai yang berstatus sebagai tersangka/terdakwa. Sehingga ketika seorang fiskus menghadapi masalah hukum pidana, maka dia harus menyewa advokat sendiri karena institusi tidak menyediakannya.
Aturan ini memang mengacu dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.01/2012 tentang Bantuan Hukum di Lingkungan Kementerian Keuangan. Sementara ada batasan dalam Undang-Undang Advokat sendiri bahwa Advokat tidak berstatus PNS atau pejabat negara, dan DJP sebagai unit eselon 1 di lingkungan Kementerian Keuangan harus tunduk pada semua aturan birokrasi itu.
Bisa dibayangkan bagaimana semua aturan birokrasi ini dapat menjadi penghambat kinerja para pegawai pajak, karena ini bisa mematikan inovasi dalam bekerja. Bisa-bisa semua akan mencari cara aman saja. Aman hingga masa pensiun tiba. Siapa yang mau coba tersangkut kasus, harus merogoh kocek sendiri pula. Kalau begitu jangan berharap banyak penerimaan pajak itu akan tercapai tanpa terobosan-terobosan baru, bukan begitu?
Belum lagi keterbatasan dana taktis di lapangan, sehingga ketika tugas-tugas tertentu yang mengharuskan pendampingan di lapangan tidak bisa leluasa dilakukan. Maka tak aneh ketika Jurusita Pajak, Parada Toga Fransriano Siahaan harus menyampaikan Surat Paksa ke Wajib Pajak hanya ditemani Satuan Pengamanan (Satpam) berstatus honorer, tak aneh.
Bahkan hal yang biasa ketika seorang Jurusita Pajak mengantarkan Surat Paksa dan SPMP bernilai miliaran Rupiah sendiri saja, tanpa dikawal. Coba saja tanya pada para Jurusita Pajak di seluruh KPP di Indonesia itu. Karena ketika harus dikawal, berarti ada dana taktis yang harus dikeluarkan, dan itu menyangkut DIPA...tidak main-main lho. Nanti jika diaudit dana itu akan ditanyakan, untuk mengawal siapa? Sekali waktu saya tanya ke seorang kawan Jurusita Pajak, tak takut mengantarkan Surat Paksa sendiri ke tempat Wajib Pajak? Jawabnya: Tuhan bersama saya. Hiks. (saya menangis mengingat dua pegawai pajak ditikam sadis).
Tewasnya seorang Jurusita Pajak dan temannya pegawai honorer itu, semoga jadi momentum bagi pimpinan dan pemerintah untuk lebih peduli pada perangkat hukum yang mengayomi pegawai DJP, tidak hanya dituntut dengan target pajak yang tinggi saja.
Sungguh besar pengorbanan mereka, juga pengorbanan pegawai-pegawai pajak itu semua dalam mengumpulkan pundi-pundi penerimaan negara. Meski dibatasi semua aturan yang kurang kondusif di lapangan, mereka tetap dengan slogan: DJP Bisa! Luar biasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H