Mohon tunggu...
Dewi Damayanti
Dewi Damayanti Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger

Musim boleh berganti, namun menulis tak mengenal musim. Dengan goresan tintamu, kau ikut mewarnai musim.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Perlindungan Hukum untuk Petugas Pajak

15 April 2016   09:50 Diperbarui: 18 April 2016   12:02 2113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi (Ambaranie Nadia K.M/Kompas)"][/caption]“Kamu tahu siapa saya? Saya bisa hancurkan karier kamu!” Kata-katanya penuh arogansi dan begitu mengancam.

Sepotong fragmen itu terjadi di suatu pagi di lantai 3 sebuah ruang konsultasi Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Lelaki penuh amarah itu mengaku mewakili salah satu Wajib Pajak yang terdaftar di KPP itu. Setelah puas menumpahkan unek-unek, lelaki itu pergi meninggalkan amarah yang telah tumpah. Tinggal si petugas yang masih terduduk lemas.

Usut punya usut ternyata si tamu itu tidak puas atas Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang telah diterbitkan KPP itu. Padahal SKP sebagai sebuah produk hukum yang dikeluarkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak pastinya telah melalui prosedur pemeriksaan yang baku dan komprehensif, tidak langsung terbit. Pastinya Wajib Pajak itu sendiri telah dipanggil, dan telah melewati jenjang konfirmasi data, pembuktian data, sanggahan, dll, sampai SKP itu diterbitkan.

Sebenarnya bagi para petugas pajak yang bersinggungan langsung dengan Wajib Pajak (Jurusita Pajak, Fungsional Pemeriksa, dan Account Representative), gesekan itu akan selalu ada. Itu sebenarnya lagu lama. Dicaci-maki itu biasa, itu resiko pekerjaan sebagai pengumpul pundi negara, mungkin itu juga dalam pikiran petugas pajak yang telah dimaki. Meski sebagai Account Representative dia berusaha menjelaskan kepada utusan Wajib Pajak, bahwa SKP itu produk pemeriksaan yang dikeluarkan Fungsional Pemeriksa Pajak, bukan dia. Tapi bagi Wajib Pajak yang butuh saluran untuk melepas unek-unek itu enggak penting. Siapa pun dia orang pajak, ya orang pajak.

Wajib Pajak dan petugas pajak itu memang akan selalu di jalan yang berbeda, takkan pernah sama. Petugas pajak adalah refresentasi dari negara.  Mereka bertugas mengumpulkan penerimaan pajak melalui penegakan hukum. Pekerjaan mereka dilindungi oleh Undang-Undang. Sementara Wajib Pajak merupakan Subjek Pajak yang atas penghasilannya akan menjadi Objek Pajak, dan ketentuannya ada dalam Undang-Undang Perpajakan. Jika masing-masing menyadari perannya, maka gesekan itu bisa diminimalisir. Idealnya begitu.   

Terbunuhnya seorang Jurusita Pajak, Parada Toga Fransriano Siahaan dan temannya, Sozanolo Lase seorang pegawai honorer di Gunung Sitoli, Nias beberapa hari lalu saat sedang menagih Wajib Pajak yang menunggak hutang pajak, sebenarnya hanyalah puncak sebuah gunung es.

Banyak petugas-petugas pajak yang selama ini menerima ancaman dan intimidasi, terutama Jurusita Pajak yang berurusan langsung dengan tunggakan pajak. Tapi jika kekerasan bahkan sampai pembunuhan yang terjadi, maka ini tak bisa dibiarkan. Dan yang jadi pertanyaannya adalah:  kenapa Wajib Pajak itu begitu enteng menghilangkan nyawa petugas yang  jelas-jelas sedang melakukan tugas negara? Kenapa Wajib Pajak itu menjadi begitu berani, karena setelah itu dia segera mengakui kesalahannya dan menyerahkan diri. Seakan dia hendak mengirimkan pesan: Anda berani menyita harta saya, nyawa taruhannya!

Salah satunya ada sebuah perubahan fundamental yang terjadi, yang telah membuat Wajib Pajak sekarang ini lebih berani dan lantang dalam menyuarakan haknya, berani menggugat jika merasa sedikit saja tidak nyaman. Apa itu?

Yaitu dengan adanya perubahan yang signifikan terhadap kedudukan Wajib Pajak dalam hukum perpajakan yang baru. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Perpajakan (UU KUP) yang baru yaitu UU No 16 Tahun 2009, memang menempatkan petugas pajak (fiskus) dan Wajib Pajak itu setara secara hukum.  Berbeda dengan UU KUP yang lama lebih cenderung state friendly, di mana hukum lebih berpihak pada negara.

UU KUP baru dengan konsep bussiness friendly-nya, maka WP memiliki hak hukum yang lebih luas. Inilah yang telah mendorong Wajib Pajak lebih berani. Positifnya adalah WP lebih sadar akan haknya. Tetapi di sisi yang lain WP juga menjadi lebih berani dalam melakukan perlawanan hukum kepada fiskus.

Misalnya saat Account Reprensentative menerbitkan Surat Himbauan, atau Fungsional Pemeriksa menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan (SP2), atau Juru Sita Pajak Negara (JSPN) menyampaikan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP) kepada WP, ketika WP tidak berkenan maka mereka akan mengadukan  fiskus ke Aparat Penegak Hukum,  apakah ke kepolisian, kejaksaan, kehakiman, bahkan KPK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun