Ketika memperhatikan gambar-gambar jajanan dan makanan yang dipajang di Museum Hakka, TMII, saya menyadari betapa besar pengaruh masakan peranakan di dunia kuliner nusantara.
Rupanya jajanan seperti kue khu ketan, putu mayang, wajik, dan lapis legit tergolong kuliner peranakan.
Pengetahuanku makin bertambah ketika membaca buku kuliner berjudul Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara.
Saya meminjam buku ini di perpustakaan digital di Jakarta.
Buku kuliner setebal 190 halaman yang diterbitkan Gramedia ini ditulis oleh Aji 'Chen' Bromokusumo dengan kumpulan resep masakan peranakan yang ditulis oleh Novie Chen dan Ennita 'Peony' Wibowo.
Oleh karena Indonesia terdiri dari beragam suku dan etnis, maka kuliner nusantara begitu beragam.
Selain pengaruh makanan dari berbagai suku, Eropa dalam hal ini Belanda, dan Tiongkok juga memberikan pengaruh yang tak sedikit.Â
Pengaruh dari Tionghoa dalam dunia kuliner dikenal sebagai masakan peranakan Tionghoa atau cukup dengan masakan peranakan, di mana sebenarnya terbagi menjadi tiga kutub, ada yang lebih suka menggunakan referensi dunia Barat, ada juga yang berkiblat ke masakan Nusantara, namun ada juga yang lebih totok, yakni berpaku dengan masakan asli Tiongkok.
Dalam buku ini pembaca bisa mengetahui seluk beluk budaya kuliner peranakan Tionghoa, teknik memasak dan istilah-istilah dalam kuliner peranakan, serta aneka makanan beserta resepnya.
Memang, perlu mengenal teknik memasak, peralatan, dan aneka bahannya dulu agar lebih paham metode dan gaya memasak peranakan.
Hal yang membedakan masakan peranakan dan masakan nusantara zaman dulu adalah teknik mengukus dan masakan tumisan.
Dalam buku ini disebutkan bahwa dulu masyarakat nusantara tak mengenal teknik menumis.
Dalam mengukus, masyarakat nusantara umumnya menggunakan daun pisang, sedangkan masakan peranakan umumnya menggunakan kukusan dari bambu dengan tutup berbentuk kerucut.
Seperti yang dikisahkan dalam komik populer Master Cooking Boy, api adalah nyawa dalam masakan China, begitu juga dengan masakan peranakan.
Besar kecilnya api berpengaruh dengan aroma, tekstur, dan cita rasa masakan. Oleh karenanya terkadang kita melihat seorang koki memasak dengan api besar, namun di masakan lain ia menggunakan api kecil.
Dalam masakan Tionghoa dikenal dengan lima rasa, lima aroma, dan lima warna. Kelima rasa adalah asin, pahit, manis, asin, dan panas. Sedangkan lima warna berupa putih, hitam, kuning, biru, dan merah.
Aroma sendiri terpengaruh dan rempah-rempah khas yang mengeluarkan aroma khas atau biasa disebut ngo hiang atau ngoyang.
Bumbu utama masakan Tionghoa adalah lada, cabe, bawang putih, dan jahe. Masakan peranakan juga menggunakan keluak, kencur, lengkuas, jintan, dan santan.
Sedangkan untuk bahan ada mie, soun, bihun, misoa, tauge, bubuk ngo hiang (terdiri dari pekak, cengkeh, adas, lada Sichuan, dan kayu manis), tauco, dan tahu.
Selanjutnya pembaca diajak menyantap sajian utama dalam buku ini yakni aneka makanan peranakan dan juga resepnya. Duh jadi lapar.
Ada banyak masakan halalnya. Makanan peranakan tersebut dari bakso, bakpia, capcai, aneka dimsum (pangsit, siomay, lumpia), aneka makanan dari ketan (lemper, wajik), hingga soto.
Ada bahasan tersendiri tentang upacara adat yang memiliki kaitan dengan makanan, perjalanan restoran Oen, sejarah kue bulan dan apa saja yang ada di Imlek.
Oh iya ada cerita tentang ronde, sejarah bakcang, juga lontong Cap Goh Meh, kue keranjang dan dodol.
Membaca buku ini saya merasa seperti pelancong yang penuh rasa antusias menjelajah aneka masakan peranakan.
Ada kalanya saya berhenti sambil membayangkan rasa masakan yang belum pernah saya icip seperti suikiau dan kuotie yang merupakan bagian dari jajanan dimsum. Istilah-istilah dalam bahasa Hokkien juga bertebaran di buku ini.
Membaca buku ini saat perut kosong atau dalam keadaan lapar kurang dianjurkan karena akan membuat perut makin keroncongan.
Foto-foto masakan dalam buku ini benar-benar menggugah rasa. Saya jadi ingin mencobai resep yang ada dalam buku ini.
Detail Buku:
Judul: Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara
Penulis: Aji 'Chen' Bromokusumo
Penerbit: Gramedia
Tebal: 190 halaman
Genre: Nonfiksi, kuliner
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H