Ayamnya rupanya sudah dimasak. Si penjual hanya menyiapkan sambalnya. Sambal hijau dari cabe ijo dan tomat hijau. Aku mencicipi aromanya, asam, segar, dan tidak begitu pedas.
Oh perutku jadi berbunyi tanda aku lapar.
Sudah dua hari aku bertahan dengan menyantap aroma. Aku merasai banyak rasa, manis, gurih, asam, segar, dan aneka rasa lainnya yang kompleks. Otakku menyimpan basis data rasa sejumlah makanan, sehingga aku bisa mengingat rasa hanya dengan mencium aromanya.
Aroma membuatku senang karena bisa memicu kenanganku akan makanan. Lihat terang bulan itu. Aromanya manis dan gurih. Ayah dulu suka membelinya untuk kami santap bersama. Saat itu ayah begitu sehat dan nampak bercahaya dengan lilin-lilin, karena listrik di tempat kami sering padam.
Ah itu ada penjual kelapa muda. Sayangnya yang tercium malah aroma asam yang tak sedap. Aroma dari sisa air kelapa yang telah berfermentasi.
Aku ingin terus berjalan dan mereguk banyak aroma. Namun tubuhku mulai tak bisa kuperintahkan. Aku lemas dan lapar.
Hanya hidungku dan juga mulutku yang begitu senang dengan aroma. Lainnya menginginkan sari-sari makanan.
Apakah mereka akan memberiku makanan jika aku memintanya? Nasi saja tak apa-apa. Aku bisa berpura-pura menyantap lauk dengan membaui aroma sate ayam atau lele yang digoreng.
Dengan malu-malu aku mendekati penjual sate. Yang keluar dari mulutku malah sederetan kata yang memohon agar aku diberikan pekerjaan.
Bapak tua dan asistennya yang kuduga adalah istrinya, memandangiku. Si istri kemudian menepuk bahuku dan mengajakku ke belakang untuk mencuci piring.
Hampir saja aku pingsan karena lapar dan lemas. Namun semua piring dan gelas berhasil kucuci bersih dan kulap.