Minggu malam, aku berjalan kaki menuju depan gang. Di sana ada jalan raya. Di pinggir jalan, ada banyak penjual makanan. Aku ingin menghirup aroma makanan.
Aku tak sabar ingin mereguk aroma makanan. Kupercepat langkahku. Dari rumahku yang mungil menuju ke mulut gang ada kurang lebih dua ribu langkah. Ah apakah energiku masih cukup hingga tiba di sana.
Sudah dua hari ini tak ada makanan yang masuk ke dalam pencernaan. Hanya air belaka. Aku hidup dengan aroma makanan. Rupanya itu memungkinkan, namun kalian jangan menirunya.
Ah mulut gang sudah dekat. Aku sudah membaui aroma sate ayam. Potongan daging kecil-kecil yang ditusuk itu hampir matang. Aromanya manis dengan sedikit pahit. Nampaknya asisten tukang sate itu sedang menyiapkan saus kacang. Aku dapat mencicipi aromanya, gurih dan manis.
Angin kemudian membuyarkan aroma tersebut. Ia membawa aroma lain yang khas. Aroma asam manis yang segar namun juga terasa lengket. Aroma nanas yang baru dipotong-potong.
Nanas sangat sedap disantap pada hawa yang gerah. Namun nanas kurang cocok disantap saat malam. Biasanya nanas yang sudah dipotong diobral saat malam. Namun meski sudah murah, aku tak punya untuk membelinya.
Aku sudah sampai di mulut gang. Di hadapanku adalah jalan raya. Aku bisa berjalan ke sisi kiri atau sisi kanan. Keduanya sama-sama punya banyak tawaran makanan.
Aku memutuskan berjalan ke sisi kanan.
Negeri sedang deflasi, makin banyak pedagang makanan baru. Warung tenda baru dan orang-orang baru. Mereka menjual makanan dengan harga lumayan terjangkau. Sepuluh ribu untuk paket nasi ayam dan lalapan.
Aku mencoba membayangkan rasa paket nasi ayam tersebut. Aromanya sulit sekali kucium karena ia berada di seberang.
Ayamnya rupanya sudah dimasak. Si penjual hanya menyiapkan sambalnya. Sambal hijau dari cabe ijo dan tomat hijau. Aku mencicipi aromanya, asam, segar, dan tidak begitu pedas.
Oh perutku jadi berbunyi tanda aku lapar.
Sudah dua hari aku bertahan dengan menyantap aroma. Aku merasai banyak rasa, manis, gurih, asam, segar, dan aneka rasa lainnya yang kompleks. Otakku menyimpan basis data rasa sejumlah makanan, sehingga aku bisa mengingat rasa hanya dengan mencium aromanya.
Aroma membuatku senang karena bisa memicu kenanganku akan makanan. Lihat terang bulan itu. Aromanya manis dan gurih. Ayah dulu suka membelinya untuk kami santap bersama. Saat itu ayah begitu sehat dan nampak bercahaya dengan lilin-lilin, karena listrik di tempat kami sering padam.
Ah itu ada penjual kelapa muda. Sayangnya yang tercium malah aroma asam yang tak sedap. Aroma dari sisa air kelapa yang telah berfermentasi.
Aku ingin terus berjalan dan mereguk banyak aroma. Namun tubuhku mulai tak bisa kuperintahkan. Aku lemas dan lapar.
Hanya hidungku dan juga mulutku yang begitu senang dengan aroma. Lainnya menginginkan sari-sari makanan.
Apakah mereka akan memberiku makanan jika aku memintanya? Nasi saja tak apa-apa. Aku bisa berpura-pura menyantap lauk dengan membaui aroma sate ayam atau lele yang digoreng.
Dengan malu-malu aku mendekati penjual sate. Yang keluar dari mulutku malah sederetan kata yang memohon agar aku diberikan pekerjaan.
Bapak tua dan asistennya yang kuduga adalah istrinya, memandangiku. Si istri kemudian menepuk bahuku dan mengajakku ke belakang untuk mencuci piring.
Hampir saja aku pingsan karena lapar dan lemas. Namun semua piring dan gelas berhasil kucuci bersih dan kulap.
Lalu aroma itu hadir. Aroma yang sudah kuhafal. Aroma manis dengan sedikit guratan pahit. Sepiring nasi dengan lima tusuk sate ayam ada di hadapanku. Aku ingin menangis. Aku menyantapnya dengan rakus.
Rupanya aroma makanan tak cukup. Tubuhku perlu sari-sari makanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H