Dan yang terakhir adalah Sri Astari Rasjid yang karyanya sering terinspirasi oleh budaya. Di tayangan ini ia menampilkan karya bertema perempuan suci dari Bunda Maria, Khadijah, Siti Hajar, hingga Dewi Sri, Dewi Saraswati, dan Dewi Kwan Im. Karyanya terpengaruh wayang golek Yogyakarta. Wayang golek ini menggunakan kostum berbahan kain tenun nusantara. Pesannya agar sifat buruk manusia yang merusak alam pun hilang paska pandemi.Â
Kesepuluh perempuan tersebut menampilkan karya seni rupa yang tak biasa. Karya mereka bisa dibilang inovatif. Mereka berani berkarya dengan lintas disiplin ilmu dan bereksplorasi dengan media baru ataupun multimedia sehingga menghasilkan karya yang unik dan segar.
Namun, Â hal yang penting dalam karya mereka bukan hanya bentuknya saja yang memikat, namun juga pesan yang ingin mereka suarakan. Benang merahnya adalah upaya mengangkat kesetaraan dan menjauhkan perempuan dari penindasan, serta isu sosial lingkungan.
Meski tiap perupa hanya diberikan durasi singkat, di film ini mereka mendapatkan panggung yang setara dan bisa menampilkan keunikan tiap karya mereka. Selama menonton tayangan ini, aku berdecak kagum melihat karya-karya inovatif mereka, terutama karya Indah Arsyad yang menampilkan mitologi Jawa dalam video instalasi. Ini sesuatu yang segar dan imajinatif.
Ya, film dokumenter pendek ini memberikan gambaran bahwa perempuan bisa mewujudkan impiannya, termasuk menjadi perupa, seperti mimpi dan harapan Kartini. Tayangan ini memberikan semangat dan pesan bahwa inspirasi dan bahan karya seni bisa dari mana saja dan apa saja, tidak perlu terjebak oleh selera pasar dan tren.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H