Dunia seni rupa di Indonesia berkembang secara dinamis. Pelakunya bukan hanya perupa pria, namun juga perupa perempuan. Makin banyak perupa perempuan yang berani bereksplorasi dan menampilkan karya-karyanya yang tak hanya memikat, namun juga memberikan pesan dan cahaya. Cerita para perupa perempuan ini ditampilkan di website Indonesiana TV Sabtu (20/4) dalam rangka peringatan hari Kartini dalam bentuk film dokumenter bertajuk Sepuluh Perupa Perempuan.Â
Kesepuluh perempuan perupa kontemporer Indonesia Terpilih tersebut adalah Dolorasa Sinaga, Nunung W.S., Melati Suryodarmo, Bibiana Lee, Titarubi, Indah Arsyad, Arahmaiani, Dyan Anggraini, Mella Jaarsma, dan Sri Astari Rasjid.  Sebelum menjadi sosok yang dibahas dalam dokumenter ini, kesepuluh perupa ini telah melakukan pameran bertema Indonesian Women Artists #3: Infusions Into Contemporary Art di Galeri Nasional Indonesia pada 29 Maret - 24 April  2022.
Kesepuluh perempuan perupa ini dipilih karena aktif dan produktif selama dua dekade terakhir. Karya-karya mereka unik, kualitasnya tak kalah dengan perupa mancanegara, dan memberikan pengaruh di dunia seni rupa tanah air. Mereka rupanya juga berasal dari berbagai daerah dan berbagai etnis.
Selama hampir 25 menit, penonton diajak berkenalan dengan para perupa perempuan tersebut dan menyaksikan karya-karya mereka yang elok. Narasi pembuka dokumenter disampaikan oleh Inda Citraninda Noerhadi dari Yayasan Cemara Enam.Â
Film dokumenter ini diproduksi oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi bekerja sama dengan Yayasan Cemara Enam.
Yuk kenalan satu-persatu dengan para perupa perempuan kontemporer tersebut.
Dolorasa Sinaga seorang pematung yang kerap menampilkan obyek perempuan. Karya-karyanya mencerminkan keberpihakannya pada kalangan marjinal dan yang tertindas. Perempuan berkaca mata ini luwes dalam menggunakan alat las dan bor untuk menghasilkan karya yang menyuarakan suara perempuan.Â
Nunung W.S., merupakan perupa seni abstrak. Ia kerap terinspirasi oleh warna tekstil tradisional dan suasana teduh seperti suasana masjid. Meski usianya tak muda, ia masih produktif dalam membuat karya lukis yang memiliki unsur geometri.
Sedangkan Melati Suryodarmo menggunakan atraksi berdurasi panjang seraya menampilkan karya-karyanya dan menyampaikan pesannya. Di tayangan film tersebut, ia membentangkan satu-persatu baju di alas terpal dengan warna dominan putih, abu-abu, dan biru. Pesan dari atraksinya ini bisa multiintepretasi. Inspirasi karyanya sendiri dari tanda-tanda dan ingatannya dari kecil.
Dalam sebuah adegan, Melati menuangkan susu dari satu gelas ke gelas lain secara berulang. Rupanya hal ini terinspirasi dari perlakuan tidak adil yang banyak diterima perempuan di rumah, seperti susu segar yang hanya diterima anak laki-laki.
Bibiana Lee terinspirasi dari identitasnya yang minoritas dan terpinggirkan. Ia membuat piring-piring keramik dengan motif yang indah dan warna yang segar. Ia berani mengkombinasikan warna pink dan kuning. Pesan karyanya adalah menjauhkan masyarakat dari sifat rasis.
Titarubi menciptakan karya yang mewah dengan bahan-bahan yang tak biasa. Ia membuat jubah megah  yang rupanya terbuat dari biji pala berlapis emas. Karya ini berjudul Imago Mundi, yang merupakan metafora tentang kekuatan pada masa kolonial yang dengan keji melakukan genosida untuk menguasai Banda. Ia ingin generasi sekarang untuk mengingat sejarah dan mengambil pesan penting pada peristiwa masa lampau.Â
Indah Arsyad sendiri terinspirasi dari alam dan lingkungan. Ia berkeliling untuk melihat dari dekat kerusakan alam seperti pencemaran dan limbah di perairan. Ia suarakan keresahannya tentang nafas dengan video instalasi, dengan menambahkan unsur ilmu pengetahuan dan simbol mitologi Jawa kuno. Karya videonya imajinatif
Arahmaiani menghasilkan karya instalasi seni yang mengangkat tentang kesetaraan perempuan dengan pendekatan multidisiplin dan memiliki unsur alam dan spiritual. Ia menyesap nilai-nilai spiritual dari perjalanan hidupnya dan lingkungan alam sekelilingnya.Â
Dyan Anggraini merupakan pimpinan Taman Budaya Yogyakarta yang menggunakan patung dan instalasi seni untuk menyuarakan suaranya yang berkaitan dengan isu-isu perempuan. Ada patung konduktor perempuan yang tak bisa bersuara ketika memimpin orkestra karena terbelenggu.
Mella Jaarsma merupakan pemilik Galeri Cemeti yang memberikan pengaruh bagi perkembangan seni kontemporer di Yogyakarta. Ia kini mencoba menggunakan kulit pohon untuk menghasilkan berbagai karya seni karena kulit pohon dulu banyak digunakan dan mengandung nilai sejarah. Dulu kulit pohon digunakan seperti kertas untuk menulis dan bahan pakaian.
Dan yang terakhir adalah Sri Astari Rasjid yang karyanya sering terinspirasi oleh budaya. Di tayangan ini ia menampilkan karya bertema perempuan suci dari Bunda Maria, Khadijah, Siti Hajar, hingga Dewi Sri, Dewi Saraswati, dan Dewi Kwan Im. Karyanya terpengaruh wayang golek Yogyakarta. Wayang golek ini menggunakan kostum berbahan kain tenun nusantara. Pesannya agar sifat buruk manusia yang merusak alam pun hilang paska pandemi.Â
Kesepuluh perempuan tersebut menampilkan karya seni rupa yang tak biasa. Karya mereka bisa dibilang inovatif. Mereka berani berkarya dengan lintas disiplin ilmu dan bereksplorasi dengan media baru ataupun multimedia sehingga menghasilkan karya yang unik dan segar.
Namun, Â hal yang penting dalam karya mereka bukan hanya bentuknya saja yang memikat, namun juga pesan yang ingin mereka suarakan. Benang merahnya adalah upaya mengangkat kesetaraan dan menjauhkan perempuan dari penindasan, serta isu sosial lingkungan.
Meski tiap perupa hanya diberikan durasi singkat, di film ini mereka mendapatkan panggung yang setara dan bisa menampilkan keunikan tiap karya mereka. Selama menonton tayangan ini, aku berdecak kagum melihat karya-karya inovatif mereka, terutama karya Indah Arsyad yang menampilkan mitologi Jawa dalam video instalasi. Ini sesuatu yang segar dan imajinatif.
Ya, film dokumenter pendek ini memberikan gambaran bahwa perempuan bisa mewujudkan impiannya, termasuk menjadi perupa, seperti mimpi dan harapan Kartini. Tayangan ini memberikan semangat dan pesan bahwa inspirasi dan bahan karya seni bisa dari mana saja dan apa saja, tidak perlu terjebak oleh selera pasar dan tren.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H