Gugusan pulau di kawasan Teluk Jakarta tersebut disebut Kepulauan Seribu. Nyatanya jumlahnya tak sampai genap seribu, melainkan sekitar 110 pulau berdasarkan data pemerintah setempat. Entah apakah pulau-pulau buatan yang kemarin bermasalah itu juga dihitung dan dimasukkan. Omong-omong kalian pernahkah berlibur ke Kepulauan Seribu?
Kepulauan Seribu masuk dalam daftar sepuluh destinasi super prioritas. Kabar ini menarik dan menggembirakan karena pemerintah akhirnya memberikan perhatian ke pulau-pulau kecil nan indah yang lokasinya tak jauh dari Jakarta ini. Wisata bahari yang indah, sekaligus juga bisa menambah wawasan sejarah karena beberapa di antaranya merupakan pulau cagar budaya.
Selain pulau-pulau tersebut memang berpotensi sebagai obyek wisata yang menarik, juga pemerintah mengawasi mana pulau-pulau yang kemarin bermasalah karena dianggap milik perorangan, bahkan menjadi resort yang dikelola pihak asing yang susah diakses nelayan dan wisatawan lokal. Jangan sampai ada kejadian pulau dijual atau dimiliki pihak perorangan atau pihak asing lagi deh.
Nah kembali ke 110-an pulau di Kepulauan Seribu. Dari angka tersebut hanya beberapa yang dihuni, di antaranya Pulau Pramuka, Pulau Pari, Pulau Untung Jawa, Pulau Harapan, Pulau Tidung, Pulau Kelapa, Pulau Kelapa Dua, Pulau Besar, Pulau Payung Besar, Pulau Lancang Besar, Pulau Sebira, dan Pulau Panggang. Ada juga yang dijadikan resort seperti Pulau Bidadari, Pulau Sepa, Pulau Ayer, Pulau Pelangi dan Pulau Puteri.
Adakah dari daftar pulau tersebut yang pernah kalian jelajahi?
Belum Sampai Sepuluh  Pulau Kujelajahi
Indonesia adalah negara kepulauan. Gugusan pulaunya ada 17 ribu sekian. Jika melihat jumlah pulau di Kepulauan Seribu, tak sampai satu persennya.
Betapa banyaknya pulau di Indonesia. Dan ketika aku melihat selintas pulau-pulau yang ada di Kepulauan Seribu aku terkagum-kagum, terpikir bagaimana cara menuju ke sana.
Dari angka 110 pulau itu sepertinya belum 10 persennya pernah kukunjungi. Coba kuhitung, ada Pulau Bidadari, Pulau Kelor, Pulau Cipir, Pulau Onrust, Pulau Tidung Besar, Pulau Tidung Kecil, Pulau Air, dan Pulau Semak Daun. Baru delapan pulau.
Pulau-pulau tersebut sudah lama kukunjungi. Rata-rata rame-rame bersama kawan-kawan dengan mengikuti open trip dan juga pernah ada yang dapat hadiah dari Kompasiana yang saat itu bekerja sama dengan Kemenparekraf.
Menuju Pulau Tidung Bersama Artis
Pengalaman seru kualami ketika mengikuti open trip ke Pulau Tidung. Aku mengajak dua kawanku mengikuti acara tiga hari dua malam ke Pulau Tidung. Bersama kami ada sekitar belasan orang lainnya yang ikut serta. Salah satunya adalah penyanyi Nina Tamam.
Meskipun baru kali pertama bertemu anggota rombongan lainnya, kami cepat akrab. Ada yang cerita ia berasal dari pesantren, ada yang tiba-tiba cerita ia suka latah, dan sebagainya. Ada juga orang Korea yang suka sekali memotret dan meminta kami jadi modelnya. Aku sendiri saat itu masih kuliah malam dan hendak UAS, alhasil bawa handout kuliah untuk kubaca-baca.
Kami berangkat dari Muara Angke. Kami naik kapal nelayan yang cukup besar di dalamnya. Sekitar tiga jam perjalanan ke Pulau Tidung. Di pulau tersebut kami menyewa rumah warga alias homestay.
Penginapannya sederhana, ada ruang tamu dan ruang keluarga, dua kamar tidur, dan dua kamar mandi. Kami tidur dengan menggunakan kasur tipis langsung di atas lantai berdempet-dempetan. Satu kamar khusus perempuan, dan lainnya khusus pria.
Jika diingat-ingat seru juga. Mungkin karena itu kami jadi cepat akrab.
Selama tiga hari dua malam, kami pun asyik menjelajah pulau. Berfoto-foto di jembatan, mengeksplorasi dan menanam mangrove di Pulau Tidung Kecil. Juga tentunya menjelajah pulau sekitar seperti Pulau Semak Daun dan Pulau Air. Oh iya tentunya berlibur ke pulau tak lengkap bila tak berenang dan snorkeling.
Ada banyak hal yang berkesan selama berwisata ke Pulau Tidung tersebut. Yang pertama kami cepat sekali akrab. Aku masih ingat sebagian wajah-wajah mereka, meski lupa nama-namanya.
Yang kedua, Nina Tamam yang dulu beken lewat grup vokal Warna, rupanya orangnya hangat dan mudah berbaur. Ia asyik diajak ngobrol apa saja. Ia juga mau ikut bersih-bersih, menyapu rumah dan halaman. Ia menegurku, heran melihatku liburan sambil belajar. Hahaha sampai di Jakarta, besoknya sudah ujian akhir, jadinya mau tak mau aku harus nyicil belajar, terutama matkul infrastruktur TI.
Nomor tiga, Pulau Tidung itu punya jembatan yang indah, menghubungkan Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil. Dari jembatan ini, langitnya sungguh indah. Aku tak puas-puasnya menatap langit, memandangi awan.
Yang keempat, meski kapal yang mengangkut kami tergolong tak nyaman, kami menikmati proses perjalanan tersebut. Ketika kami pulang, kami asyik bermain kartu dan saling bercanda.
Terakhir, perjalanan berlibur dengan open trip ke sana tergolong hemat. Saat itu aku merogoh kocek Rp 300 ribu untuk tiga hari dua malam sudah termasuk biaya makan, penginapan, transportasi, dan sewa kapal keliling pulau-pulau sambil bersnorkeling.
Berwisata Sambil Belajar Sejarah ke Pulau Bidadari dan Ketiga Pulau Berdekatan
Bila ke Pulau Tidung kami murni berlibur, ketika menuju ke Pulau Bidadari dan sekitarnya, kami sekalian menambah wawasan sejarah. Ya, di tempat tersebut masih banyak bangunan dan benteng peninggalan Belanda.
Perjalanan pertama ke Pulau Kelor, Pulau Onrust, dan Pulau Cipir kali pertama kulakukan dengan mengikuti open trip. Biayanya saat itu murah, hanya seratus ribu per orangnya. Biaya tersebut sudah termasuk makan siang dan biaya naik kapal.
Kami naik kapal dari Muara Kamal, Jakarta Barat. Dari sini, ada banyak kapal nelayan yang bisa disewa untuk menuju ke ketiga pulau tersebut.
Saat itu ketiga pulau tersebut masih apa adanya. Hanya Pulau Kelor yang sudah sedikit berbenah saat itu.
Tak ada yang kukenal di antara anggota rombongan. Tapi seperti acara open trip yang beberapa kali kuikuti, orang-orangnya rata-rata terbuka dan mudah berteman.
Pulau Kelor alias Pulau Kherkof paling primadona di antara ketiga pulau tersebut. Pasir yang putih krem, bersih, dengan ikon Benteng Martello.
Anggota rombongan mulai berpencar. Ada yang asyik bermain air, berfoto-foto dengan latar benteng, ada pula yang asyik memancing.
Saat itu belum ada petugas yang mengingatkan pengunjung untuk tidak memanjat dinding benteng. Aku sendiri cemas melihat begitu banyaknya pengunjung yang berfoto dengan memanjat dinding benteng. Untunglah kemudian ada petugas yang aktif melarang pengunjung ketika kunjungan ke sini bersama Kompasianer. Itu bangunan sejarah, kuatirnya rusak oleh ulah pengunjung hanya dengan tujuan berburu foto.
Di Pulau Onrust, ada begitu banyak hal yang menambah wawasan sejarah. Pulaunya juga paling luas di antara lainnya. Di sini ada bangunan Belanda, makam, juga dulu pernah menjadi pusat karantina haji. Tempat ini juga dulu merupakan pusat galangan kapal dan pusat dan benteng pertahanan utara.
Kunjungan kedua bersama Kompasiana, aku melihat adanya berbagai penambahan di sana sini. Aku tertegun karena beberapa tambahan berunsur kekinian malah jadi tak sinkron dengan 'jualan' pulau ini sebagai situs sejarah. Hal yang sama juga terjadi di Pulau Kelor. Astaga apa tidak riset dahulu ya, asal pasang saja. Malah kontras dengan bangunan lama yang sudah lebih dahulu ada.
Pulau Cipir atau Pulau Kahyangan adalah pulau yang terakhir kami kunjungi saat open trip. Pulau ini memiliki banyak reruntuhan bangunan rumah sakit bagi mereka yang melakukan karantina haji. Ada pusat sanatorium juga.
Nah saat berlibur bareng Kompasiana dan Kemenparekraf pada tahun 2015, kami menginap di Pulau Bidadari. Kami menuju Pulau Bidadari dari dermaga Marina di Ancol. Kapalnya termasuk kapal cepat dan dalamnya bagus.
Perjalanan menuju Pulau Bidadari tak sampai satu jam. Dan seperti namanya, pulau ini cantik. Ada resort dan benteng di mana pengunjung bisa bermain air, main banana boat, memancing, naik sepeda, bermain pasir, atau lari pagi.
Waktu itu aku mencoba lari pagi mengelilingi pulau ini. Rasanya menyenangkan melihat keseluruhan isi pulau sambil berolah raga. Setelahnya aku dan kawan-kawan mencobai banana boat.
Oh ya di sini juga ada Menara Martello dan pusat penangkaran elang bondol. Menara di sini berfungsi sebagai pengawas sekaligus benteng. Menara ini sudah tak seperti bangunan lamanya yang dulu terdiri dari dua lantai.
Baru sedikit pulau di Kepulauan Seribu yang kukunjungi. Bila pandemi berakhir, aku jadi ingin ke pulau-pulau lainnya.
Tentang peningkatan fasilitas wisata ke Kepulauan Seribu akan lebih baik bila informasi transportasi menuju ke sana lebih dipermudah. Demikian juga dengan biayanya. Akomodasi di sana bisa bekerja sama dengan warga lokal agar ekonomi mereka lebih berdaya. Harapanku peningkatan wisata di Kepulauan Seribu juga berbasis alam. Jangan sampai wisatawan banyak, tapi alam jadi makin rusak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H