Tak ada yang kukenal di antara anggota rombongan. Tapi seperti acara open trip yang beberapa kali kuikuti, orang-orangnya rata-rata terbuka dan mudah berteman.
Pulau Kelor alias Pulau Kherkof paling primadona di antara ketiga pulau tersebut. Pasir yang putih krem, bersih, dengan ikon Benteng Martello.
Anggota rombongan mulai berpencar. Ada yang asyik bermain air, berfoto-foto dengan latar benteng, ada pula yang asyik memancing.
Saat itu belum ada petugas yang mengingatkan pengunjung untuk tidak memanjat dinding benteng. Aku sendiri cemas melihat begitu banyaknya pengunjung yang berfoto dengan memanjat dinding benteng. Untunglah kemudian ada petugas yang aktif melarang pengunjung ketika kunjungan ke sini bersama Kompasianer. Itu bangunan sejarah, kuatirnya rusak oleh ulah pengunjung hanya dengan tujuan berburu foto.
Di Pulau Onrust, ada begitu banyak hal yang menambah wawasan sejarah. Pulaunya juga paling luas di antara lainnya. Di sini ada bangunan Belanda, makam, juga dulu pernah menjadi pusat karantina haji. Tempat ini juga dulu merupakan pusat galangan kapal dan pusat dan benteng pertahanan utara.
Kunjungan kedua bersama Kompasiana, aku melihat adanya berbagai penambahan di sana sini. Aku tertegun karena beberapa tambahan berunsur kekinian malah jadi tak sinkron dengan 'jualan' pulau ini sebagai situs sejarah. Hal yang sama juga terjadi di Pulau Kelor. Astaga apa tidak riset dahulu ya, asal pasang saja. Malah kontras dengan bangunan lama yang sudah lebih dahulu ada.
Pulau Cipir atau Pulau Kahyangan adalah pulau yang terakhir kami kunjungi saat open trip. Pulau ini memiliki banyak reruntuhan bangunan rumah sakit bagi mereka yang melakukan karantina haji. Ada pusat sanatorium juga.
Nah saat berlibur bareng Kompasiana dan Kemenparekraf pada tahun 2015, kami menginap di Pulau Bidadari. Kami menuju Pulau Bidadari dari dermaga Marina di Ancol. Kapalnya termasuk kapal cepat dan dalamnya bagus.