Sudah benar batas usia perempuan menikah adalah 19 tahun, bahkan kalau perlu sebaiknya ditingkatkan menjadi 21-22 tahun.Â
Usia 21 atau 22 tahun adalah usia ketika perempuan selesai menempuh pendidikan diploma atau sarjana. Usia yang cukup matang buat menikah. Pasalnya, menikah bukan hanya urusan cinta dan memiliki anak.
Masih ada orangtua yang menikahkan putrinya di bawah umur yang sepatutnya. Jumlahnya tak sedikit yakni 94 persen dari angka total 1.220.990 atau sekitar 1.147.730 orang berdasarkan data SUSENAS pada tahun 2018 seperti yang kukutip dari web Bisnis (12/2/2021).
Angka tersebut cukup besar, apalagi mengingat saat ini jaman sudah modern dan kesempatan belajar bagi siswa perempuan terbuka lebar. Angka tersebut menempatkan Indonesia di posisi kedelapan sebagai negara yang banyak memiliki perkawinan di bawah usia 18 tahun. Posisi yang buruk, bukan sebuah prestasi.
Di berbagai negara, remaja yang usianya belum tepat 18 tahun masih disebut anak-anak. Hal ini dikarenakan pada usia tersebut tingkat kematangan mental dan organ reproduksi belum sempurna. Di Indonesia, berdasarkan UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, seseorang dikategorikan anak jika usianya di bawah 18 tahun.
Meski sudah ada batas minimal usia pernikahan yang diatur di Undang-Undang, namun dalam praktiknya di lapangan tak sedikit dilangsungkan pernikahan di bawah umur. Bahkan pada saat pandemi, jumlah pernikahan di bawah umur ini meningkat. Ada yang mengajukan dispensasi secara resmi, ada juga yang menikahkannya secara diam-diam.
Jawaban yang kerap dilontarkan oleh orangtua yang menikahkan putrinya sebelum"waktunya", rata-rata dikarenakan ekonomi. Anak perempuan di sebagian kalangan dianggap beban keluarga.Â
Mereka merasa "bebas" dan tugas mereka sebagai orangtua pun berakhir setelah anak perempuan mereka dinikahkan. Apalagi jika pelamar berasal dari keluarga kaya raya, maka selain sudah "mentas", mereka juga merasa bangga punya besan dari kalangan berada.
Mereka yang menikah karena terbujuk oleh romantisasi dan kampanye nikah mudah itu belum tahu bahwa menikah bukan hanya soal cinta, namun ada beragam masalah yang menghadang.
Bila mereka menikah muda karena soal ekonomi, maka setelah anak perempuan tersebut menikah mereka akan merasai hal yang sama apabila pasangannya juga sama-sama di bawah umur dan belum bekerja. Seperti mimpi buruk yang berulang.
Dan masalah bagi mereka yang menikah muda bukan hanya itu. Bersiaplah "winter is coming", seperti yang diucapkan kaum North di serial "Game of Thrones" ketika situasi akan semakin memburuk.
Pernikahan Dini, Kesehatan Mental dan Kesehatan Reproduksi
Apabila kedua anak yang menikah sama-sama di bawah umur dan belum bekerja, maka situasi buruk akan berulang. Nambah satu lagi mereka yang terancam berada di posisi keluarga yang belum sejahtera. Apalagi jika status mereka sudah berhenti dari sekolah.
Tanpa ijazah diploma dan sarjana, berbekal ijazah SMA saja saat ini realitanya sudah sulit mendapatkan pekerjaan. Jika tanpa ijazah SMA, maka peluang mendapatkan pekerjaan pun menjadi berkurang, rata-rata yang didapat adalah pekerjaan kasar.
Mendapatkan akses kredit kepemilikan rumah di bank juga tidak mudah. Pihak bank biasanya juga teliti sebelum memberikan fasilitas pinjaman. Kemungkinan pengajuan kredit akan besar ditolak apabila pengaju kredit belum bekerja.
Bila kemudian dengan alasan menghemat, lalu tinggal di rumah orangtua, maka jalan keluar masalah ekonomi yang diharapkan oleh orangtua tak akan tercapai. Beban orangtua akan makin bertambah dengan anak menikah yang belum mandiri dan akan menambah anggota baru.
Bagaimana dengan kesehatan reproduksi dan mental ibu muda?
Organ reproduksi belum matang pada usia muda. Persalinannya akan berisiko besar pada kesehatan si ibu muda. Bahkan bisa berisiko kematian.
Demikian pula dengan kesehatan mental mereka. Berdasarkan WHO, kesehatan mental adalah kondisi mental seseorang yang tidak memiliki gangguan atau cacat mental. Kesehatan mental bisa berupa di antaranya gangguan kecemasan berlebihan, gangguan tidur, bipolar, depresi, dan skizofrenia.
Setelah masa "bulan madu", pasangan menikah muda biasanya baru paham bahwa masalah ekonomi seperti duit menjadi sumber keributan rumah tangga. Beban bertambah dengan kehadiran anak, ada biaya susu, biaya konsumsi makanan, aneka tagihan, dan sebagainya.
Bila pendapatan tak mencukupi untuk kebutuhan hidup maka biasanya istri juga ikut membantu perekonomian. Ia mengasuh anak, membersihkan rumah, memasak, dan juga bekerja. Sungguh pekerjaan yang sangat melelahkan dan rawan stress.
Biasanya stres juga menimpa sebagian ibu muda pasca melahirkan. Tingkat stres pasca melahirkan berdasarkan penelitian yang dipublikasikan di Journal of Adolescent Health, lebih tinggi dialami mereka yang memiliki anak sebelum usia 21 tahun. Kondisi ini dilansir dari BBC (14/4) dipicu perubahan hormon, mental sebagai ibu yang belum siap, dan kondisi emosional yang masih belum stabil.
Bila beban mental tak mampu dikelola dengan baik maka yang terjadi si ibu muda bisa mengalami depresi. Di kasus-kasus yang ditulis di media ada seorang Ibu yang kemudian ingin membunuh anaknya, ada juga yang ingin bunuh diri dan sebagainya. Ini contoh-contoh kasus perempuan yang mengalami gangguan kesehatan mental di mana sangat berbahaya bila terlambat ditangani.
Pentingnya Konseling Pra Nikah dan Tindakan Kuratif
Masalah pernikahan muda bukan hanya pekerjaan rumah bagi Kementerian Perempuan dan BKKBN, namun juga melibatkan berbagai institusi dan elemen masyarakat seperti lembaga agama, sekolah, dan orangtua.
Orangtua dan anak-anak perlu diberikan penyuluhan segi buruknya pernikahan muda. Dampak pernikahan muda, isu kesehatan mental dan reproduksi juga perlu disosialisasikan di sekolah dan oleh berbagai institusi. Sosialisasinya bisa satu paket dengan sosialisasi bahayanya pergaulan bebas atau juga bisa terpisah.
Bagi pasangan yang akan menikah juga sebaiknya mengikuti konseling pra nikah, sehingga mentalnya siap juga paham dengan hak kewajiban sebagai suami dan istri.
Bagaimana dengan mereka yang mengalami gangguan mental? Jika gangguannya sudah hadir seperti mulai menarik diri, lesu, dan sebagainya maka perempuan perlu segera mendapatkan bantuan profesional.Â
Saat ini belum banyak puskesmas yang memiliki psilolog klinis, kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan mental juga belum merata. Masih ada stigma kurang baik bagi mereka yang mengalami gangguan mental.
Kementerian Kesehatan sebenarnya punya aplikasi Sehat Jiwa yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesehatan mental seseorang. Ia bisa diunduh di gawai,dalah satunya melalui alamat websitenya.Â
Di dalamnya memuat kuesioner yang perlu dijawab jujur untuk mengetahui apakah ia sehat atau perlu mengikuti konseling. Di aplikasi ini juga diberikan informasi deteksi dini kesehatan mental serta puskesmas/tempat-tempat pelayanan kesehatan lainnya untuk membantu menangani masalah gangguan mental dan kejiwaan.
Referensi: satu , dua, dan tigaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H