Awal-awal melakukan wawancara, aku suka grogi. Tiba-tiba aku sakit perut atau bolak-balik ke kamar mandi. Kadang-kadang ada keinginan untuk pura-pura sakit agar tak jadi pergi melakukan wawancara. Rekan seniorku terus memaksaku untuk berani dan percaya diri. Tulis dulu pertanyaan dan tinggal baca saja kalau grogi, sarannya.
Berbekal amati dan pelajari, lama-kelamaan aku mulai beradaptasi. Teknik mendapatkan informasi lebih kupelajari. Datanglah lebih awal atau lebih terlambat, bertanyalah dengan santai, dan lalu minta kartu namanya, saran mentorku.
Aku menyebutnya suhu. Ia seorang wartawan senior, sudah puluhan tahun ia menjadi jurnalis. Ia tak pernah menyukai konferensi pers dan menyebutnya sebagai berita seragam. Â Jika semua koran isinya sama maka buat apa beli koran A atau koran B, ujarnya. Â
Ekspektasi di tempatku bekerja memang sangat tinggi. Kami dituntut untuk mendapatkan berita eksklusif, namun juga jangan sampai ketinggalan berita penting. Oleh karenanya koneksi dan obeservasi itu penting.
Ia menyarankanku agar tak suka nongkrong bareng wartawan lainnya, sesekali boleh untuk jalin pertemanan, tapi jangan keseringan. Memang biasanya ada tempat-tempat dimana wartawan suka berkumpul, berbagi informasi liputan hari ini. Â
Aku jarang berkumpul di tempat tersebut, aku lebih tahu tempat yang asyik untuk nongkrong bersama beberapa teman wartawan di pos seni budaya. Waktu itu aku sudah dapat pos di seni budaya dan lifestyle.
Pos seni budaya adalah favoritku. Kami nonton berbagai pertunjukan seni dan mewawancarai para seniman. Tapi aku juga punya tanggungan pos lifestyle, kecantikan, fashion, komunitas, dan hiburan. Aku bertemu perancang busana, make up artist, juga selebriti.
Hingga suatu ketika aku dinyatakan lulus masa percobaan. Ah senangnya dan lega. Aku sampai menangis waktu itu. Oleh karena pada saat itu ada di antara kami yang akan diberhentikan dan kupikir itu aku. Aku merasa diriku paling lemah di antara rekan-rekanku satu angkatan.
Setelah mendapatkan pos aku merasa lega. Setidaknya aku tak terlalu pusing memikirkan apakah ada berita dan harus kemana hari itu. Jika tak ada event hari itu, aku bisa membuat tulisan dari jaringan humas dan narasumber yang telah kumiliki.Â
Tapi aku juga masih suka berkeliling, karena wartawan itu tetap perlu terjun ke lapangan sekalian observasi, jangan hanya mengandalkan telepon.Â