Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Lulusan Teknik Informatika Kerja Jadi Wartawan? Bisa!

6 April 2021   17:00 Diperbarui: 7 April 2021   15:20 980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dulu awal kerja jadi wartawan aku pakai kamera SLR manual (sumber gambar: Pixabay/Aline Ponce)

"Kamu lulusan mana, Pus?" seorang rekan dari sebuah media harian membuka obrolan.

"Teknik informatika," jawabku sambil menyebutkan nama kampus yang terletak di Sukolilo.

Ia keheranan. Demikian pula dengan rekan-rekan media lainnya yang saat itu berkumpul menunggu konferensi pers dimulai.

"Nggak salah Kamu kerja jadi wartawan?" ia kembali melanjutkan pertanyaan. Aku hanya nyengir dan kemudian berlalu. Aku malas dan bosan dengan reaksi orang-orang di sekitarku saat itu jika tahu latar belakang pendidikanku. Pasti ujung-ujungnya aku diceramahi.

Apa salahnya lulusan TI kerja jadi wartawan? Toh, buktinya aku ternyata bisa melakukannya, lulus masa percobaan dan kemudian mendapatkan pos penempatan.

Refresh Sejenak dari Perkodingan

Sejak dulu aku ingin mencoba menjadi pencari berita. Mungkin karena sejak belum bisa membaca, aku sudah terpapar oleh komik Tintin. Rasanya menarik pergi ke sana ke sini dan bertemu orang baru.

Tapi pilihan studiku rupanya tak menjurus sama sekali ke bidang jurnalistik. Waktu SMA, aku masuk jurusan IPA dan ketika mengikuti SNMPTN, dua pilihan jurusanku adalah bidang IPA, Teknik Informatika dan Kimia, baru pilihan terakhir adalah IPS, yaitu Hubungan Internasional.

Meski kemudian aku menimba ilmu perkodingan selama kurang lebih empat tahun, aku tetap berhasrat di dunia media. Aku rajin mengikuti berbagai workshop jurnalistik. 

Waktu SMA aku juga pernah bergabung dalam ekskul majalah dinding dan mengikuti magang selama sebulan di sebuah media harian lokal di kota Malang.

Tapi aku sebenarnya mulai terpapar oleh kebiasaan buruk yang umum dialami sebagian kalangan yang berkuliah di bidang komputer. Sebagian mengalami rasa enggan untuk tampil di depan umum. 

Ketrampilan komunikasi kami rata-rata cukup buruk. Bahkan kami lebih suka berkirim pesan lewat aplikasi daripada berbicara langsung,meski kami berada dalam satu tempat. Tapi memang tidak semuanya seperti itu.

Oleh karenanya aku kemudian bertanya-tanya. Apa aku sanggup menjadi wartawan jika aku sendiri saja sudah mulai 'anti sosial'?

Dan ketika wisuda hendak diselenggarakan, rupanya ada lowongan sebagai jurnalis. Persyaratannya juga tak susah, S1 segala jurusan dan IPK di atas tiga. Dengan penuh semangat aku pun melamar. Eh rupanya teman satu jurusan juga ada yang ikutan. Ia rupanya juga sama sepertiku, ingin mencoba sesuatu yang baru.

"Kamu masih eneg dengan koding kan, Pus?! Ia menebak dan aku tertawa mengiyakan.

Aku memang membuat 'perjanjian' dengan orang tua. Aku menyebutnya cari penyegaran setelah 4,5 tahun belajar pemrograman. Nantinya aku pasti bakal kembali ke dunia TI, janjiku ke orang tua.

Jadi Wartawan Pemula Tak Mudah

Ujian masuk jadi wartawan ternyata susah. Ada tes tulis berupa pertanyaan wawasan. Komplet. Ada wawasan olah raga, umum, pendidikan, ekonomi, hingga politik. 

Waduh, semuanya esai, nggak ada yang pilihan ganda. Nggak bisa ngawur nih. Di bagian politik, ada pertanyaan tentang peta politik, daerah ini dominan partai mana dan sebagainya.

Aku keluar lokasi ujian dengan lemas.

Ujian berikutnya adalah wawancara panel dengan menggunakan bahasa Inggris. Pertanyaannya juga seputar wawasan. Hanya karena harus menggunakan bahasa Inggris, aku kadang-kadang juga bingung mencari padanan istilahnya.

Aku lulus mungkin sebagian besar karena faktor keberuntungan. Selanjutnya kami menjalani pelatihan intensif selama satu minggu, dari pagi hingga petang. 

Kami belajar teknik menulis, teknik wawancara, serta bagaimana jika ditugaskan di daerah konflik bersenjata. Minggu berikutnya kami mulai dilepas ke lapangan, namun setiap harinya seusai jam deadline, kami tetap mengikuti kelas hingga tengah malam.

Hari-hari itu sangat melelahkan. Kami belum dapat pos tetap dan belum punya jaringan narasumber. Setiap harinya aku kebingungan, aku harus mencari berita kemana hari ini. Target 2-3 berita yang dimuat bikin kelabakan setiap harinya.

Lalu aku mulai berkenalan ke calon-calon penyedia berita. Berkenalan dengan humas hotel, mal, dan tempat wisata. Aku juga berkenalan dengan para seniman dan sebagainya. Kata seorang rekanku, kami mirip SPG, hahaha benar juga sih. Tapi tak apa-apalah asal dapat kenalan dan berita.

Hampir dua minggu aku paceklik berita. Kadang-kadang dapat 2-4 berita tapi tak ada yang dimuat. Di sesi kelas malam, tulisan kami dibedah. Kami harus siap dengan kritikan yang tajam. 

Masa-masa percobaan ini sungguh keras. Sudah ada beberapa teman yang mengundurkan diri karena tak tahan dengan tekanan. Temanku dari satu jurusan sudah beralih pekerjaan ke yang 'lebih nyaman'.

Untungnya ngetiknya sudah pakai komputer bukan mesin tik jaman itu (sumber gambar Pixabay/Free-Photos)
Untungnya ngetiknya sudah pakai komputer bukan mesin tik jaman itu (sumber gambar Pixabay/Free-Photos)
Rejeki dari Liputan Kampung ke Kampung

Berkat liputan dari kampung ke kampung, kami pun kebagian rejeki. Anak-anak baru ditugaskan di sana. Acaranya rata-rata Jumat dan Minggu pagi pukul enam. Sejak habis Subuh aku bersiap untuk berangkat.

Aku suka dengan liputan dari kampung ke kampung. Aku jadi tahu lebih banyak tentang kota Surabaya. Di balik mal Tunjungan rupanya ada berbagai kampung yang warganya begitu guyup. Aku juga dijamu rawon yang super enak di situ. Di kampung-kampung dekat Dolly rupanya sangat bersih dan asri, rasanya begitu kontras dengan identitas yang melekat di daerah tersebut.

Aku mulai dapat berita. Setidaknya jika tulisan ditolak, fotonya masih nampang. Oh iya waktu itu aku masih menggunakan kamera SLR manual. Kamera digital masih mahal waktu itu. 

Alhasil aku belajar cara memasukkan roll film, memotong film tanpa lainnya terbakar, dan bagaimana memainkan rana. Kadang-kadang aku membawa kamera poket untuk cadangan. Sore harinya aku buru-buru ke bagian pencetakan foto. Untunglah kemudian uang tabunganku terkumpul dan aku bisa membeli kamera digital sehingga tak pusing dengan urusan foto.

Mulai Beradaptasi

Awal-awal melakukan wawancara, aku suka grogi. Tiba-tiba aku sakit perut atau bolak-balik ke kamar mandi. Kadang-kadang ada keinginan untuk pura-pura sakit agar tak jadi pergi melakukan wawancara. Rekan seniorku terus memaksaku untuk berani dan percaya diri. Tulis dulu pertanyaan dan tinggal baca saja kalau grogi, sarannya.

Berbekal amati dan pelajari, lama-kelamaan aku mulai beradaptasi. Teknik mendapatkan informasi lebih kupelajari. Datanglah lebih awal atau lebih terlambat, bertanyalah dengan santai, dan lalu minta kartu namanya, saran mentorku.

Aku menyebutnya suhu. Ia seorang wartawan senior, sudah puluhan tahun ia menjadi jurnalis. Ia tak pernah menyukai konferensi pers dan menyebutnya sebagai berita seragam.  Jika semua koran isinya sama maka buat apa beli koran A atau koran B, ujarnya.  

Ekspektasi di tempatku bekerja memang sangat tinggi. Kami dituntut untuk mendapatkan berita eksklusif, namun juga jangan sampai ketinggalan berita penting. Oleh karenanya koneksi dan obeservasi itu penting.

Ia menyarankanku agar tak suka nongkrong bareng wartawan lainnya, sesekali boleh untuk jalin pertemanan, tapi jangan keseringan. Memang biasanya ada tempat-tempat dimana wartawan suka berkumpul, berbagi informasi liputan hari ini.  

Aku jarang berkumpul di tempat tersebut, aku lebih tahu tempat yang asyik untuk nongkrong bersama beberapa teman wartawan di pos seni budaya. Waktu itu aku sudah dapat pos di seni budaya dan lifestyle.

Pos seni budaya adalah favoritku. Kami nonton berbagai pertunjukan seni dan mewawancarai para seniman. Tapi aku juga punya tanggungan pos lifestyle, kecantikan, fashion, komunitas, dan hiburan. Aku bertemu perancang busana, make up artist, juga selebriti.

Hingga suatu ketika aku dinyatakan lulus masa percobaan. Ah senangnya dan lega. Aku sampai menangis waktu itu. Oleh karena pada saat itu ada di antara kami yang akan diberhentikan dan kupikir itu aku. Aku merasa diriku paling lemah di antara rekan-rekanku satu angkatan.

Setelah mendapatkan pos aku merasa lega. Setidaknya aku tak terlalu pusing memikirkan apakah ada berita dan harus kemana hari itu. Jika tak ada event hari itu, aku bisa membuat tulisan dari jaringan humas dan narasumber yang telah kumiliki. 

Tapi aku juga masih suka berkeliling, karena wartawan itu tetap perlu terjun ke lapangan sekalian observasi, jangan hanya mengandalkan telepon. 

Dulu suka banget jika tulisanku dimuat. Sampai pernah kukliping (sumber gambar: Pixabay/Moritz320)
Dulu suka banget jika tulisanku dimuat. Sampai pernah kukliping (sumber gambar: Pixabay/Moritz320)
Nongkrong di Sekitaran Kamar Mayat

Hingga suatu ketika aku dimutasi ke bagian kesehatan. Aku jadi sering berkeliling dari rumah sakit ke rumah sakit. Biasanya setelah berkeliling, aku menuju ke UGD, bagian anak, dan terakhir di kamar mayat. Ya, di area sekitar kamar mayat adalah tempatku nongkrong dan beristirahat sejenak.

Tempat ini adalah area yang berkesan. Ibu dan kakak suka cemas bila keduanya menelpon dan aku sedang berada di sini. Sama halnya ketika dulu aku berada di pub dan hiburan malam untuk meliput, kenapa harus ke sana?

Di area kamar mayat, aku mendapat ijin dari petugas untuk memeriksa daftar kematian. Biasanya aku memeriksa polanya. Jika banyak kasus meninggal karena DBD maka itulah yang harus kuinvestigasi. 

Lalu aku juga memeriksa kasus-kasus kematian yang tak wajar. Biasanya ada sangkut pautnya dengan kasus bunuh diri dan kasus lainnya.

Ketika berada di pos kesehatan, aku sering berkontak dengan teman-teman dari pos kriminal. Oleh karena kadang-kadang korban tindakan kriminal juga dilarikan ke rumah sakit. Oh aku tak suka dengan bagian ini, melakukan wawancara ke keluarga korban yang sedang berduka. 

Bagian lainnya yang juga tak kusukai adalah melakukan wawancara ke korban perkosaan. Sebagai perempuan, aku berempati dan ikut merasai duka mereka. Aku berharap temanku yang melakukan wawancaranya.

Di area kamar mayat aku berteman baik dengan para petugas di sana, termasuk sopir mobil jenazah. Ada berbagai cerita lucu dan seram yang kudapatkan dari mereka. Ada kalanya aku juga dapat bahan berita dari mereka. 

Aku juga pernah diajak kondangan ke rekan salah satu wartawan yang eks pos kesehatan. Eh kami datang berombongan dengan mobil jenazah, bikin heran warga setempat.

Untungnya surat kabar tempat aku bekerja tak suka gambar mengerikan. Jadi aku tak perlu memotret korban, tapi beberapa wartawan koran kriminal melakukannya. Ada seorang wartawan kriminal yang takut melihat mayat. Ia membujukku untuk membantunya memotret dengan kameraku. 

Karena kasihan, aku pun memotretnya. Saat itu korban sudah ada di rak pendingin. Setelah memotret aku pun tak lama kembali ke kantor dan menulis berita. Setelah transfer foto ke komputer aku pun ke mushola. 

Eh ketika kembali ke ruangan, aku kaget, layar dekstopku sudah diganti gambar korban. Aku lupa menghapus filenya. Ampun deh iseng banget pelakunya.

Oh iya jaman dulu wartawan wajib balik ke kantor, tak bisa kerja remote. Biasanya sebelum Maghrib aku kembali ke kantor dan mulai mengetik berita. Pukul 19.00-20.00 kami pun sudah setor berita. Dulu portal berita belum semasif sekarang sehingga lebih ditekankan untuk membuat berita yang lengkap, akurat, dan obyektif.

Kembali ke Dunia TI

Saat itu ada beritaku yang menjadi berita eksklusif, bahkan kemudian menjadi berita nasional. Setelah itu aku tak bisa lagi pulang jam 21.00-22.00, pernah pulang jam 02.00-03.00 lalu kembali meliput pagi harinya. Sungguh melelahkan tapi aku merasa puas.

Kemudian ada tawaran menggiurkan di bidang TI. Aku telah berjanji ke orang tuaku untuk suatu ketika kembali ke bidangku. Aku pun mengambil kesempatan itu.

Memang hanya sekitar 1,5 tahun aku bekerja di media harian. Namun, pengalaman yang kudapat begitu luar biasa dan kaya. Kemampuan bahasa Inggris ternyata memang penting karena kita tidak tahu kapan ada narasumber dari luar negeri. 

Dari pengalaman sebagai wartawan aku tak bisa lagi melihat segala sesuatu itu serba hitam dan putih, di sana ada abu-abu, abu-abu gelap, atau putih keabu-abuan.

Aku kemudian kembali ke bidang TI, untungnya tidak di bagian koding tapi di analisa dan strategi TI (sumber gambar Pixabay/Pexels)
Aku kemudian kembali ke bidang TI, untungnya tidak di bagian koding tapi di analisa dan strategi TI (sumber gambar Pixabay/Pexels)
Aku juga membuktikan lulusan TI pun bisa jadi wartawan. Asal mau belajar dan mampu beradaptasi dengan gaya bekerjanya maka menurutku setiap lulusan manapun bisa jadi wartawan. Dengan pengalaman sebagai wartawan setidaknya juga membantu memperbaiki kemampuan berkomunikasiku.

Saat ini aku tetap menulis. Aku tetap bekerja di bidangku, sebagai peneliti dan konsultan TI, tapi juga tak mengabaikan minatku di bidang tulis-menulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun