Ia kemudian bertanya apakah aku pernah menyaksikan layar tancap di Malang. Pastinya pernah. Hanya aku lupa tahunnya. Dulu aku, kakak dan paman pernah nonton ramai-ramai di Lapangan Sarangan. Judul dan isi filmnya aku tak ingat karena dulu aku sibuk dengan jajan di tangan.
Sebagian di antaranya sudah hadir sejak jaman kolonial Belanda. Kini bioskop tersebut sudah tak terdengar.
Pensiunan PNS ini lalu bercerita tentang perjalanan usaha layar tancapnya yang sempat berjaya antara tahun 1970-an hingga 1990-an. Selama itu ia mempunyai ratusan film dan puluhan proyektor film.
Dengan bendera Cinedex atau Cinema Gedex, ia berkeliling ke Jawa Timur memutar film dengan format layar tancap sejak tahun 1968. Pagar pembatasnya adalah gedek alias lembaran anyaman bambu.
Tiketnya murah meriah, berkisar Rp 250,- pada masa itu. Penontonnya sekali pertunjukan bisa mencapai lima ribuan, apalagi jika filmnya jenis film gelut dan tembak-tembakan (film laga) juga film horor.
Sedangkan film Barat seperti "Charlie Chaplin" dan "Abbot and Costello" juga dikoleksinya, tapi peminatnya relatif lebih banyak film Indonesia.
Layar tancap masa itu disukai karena tak banyak hiburan. Layar tancap menjadi ajang komunikasi muda mudi dan media hiburan keluarga. Di daerah pesisir seperti Sendang Biru, para nelayan setelah turun dari kapal dan menjual ikan kemudian rame-rame nonton.
Berkebalikan dengan saat ini, di mana akses nonton film untuk kalangan menengah ke bawah jadi terbatas sejak tidak populernya layar tancap. Minusnya, jika film putus maka kami ramai-ramai dilempari, dari bungkus kacang hingga botol dengan isi air seni, ceritanya sambil tertawa.