Aku mulai mengunyah. Seekor kucing hitam melirikku dan lalu bertanya. "Kamu siapa? Aku tak pernah melihatmu." Ia bertanya.
Aku menjawab. "Namaku Nero dari rumah pelangi". Aku lalu meneruskan menyantap kepala ikan, sebelum kemudian bergeser ke ayam masak opor.
Kucing hitam itu berbisik ke temannya. Temannya, seekor kucing belang gantian mengajakku berbicara. "Nero, Kamu kucing dari rumah pelangi?"
Aku membenarkannya. Ia lalu kembali berkata-kata kali ini tak enak. "Kamu bukan kucing gang ini. Kamu juga bukan kucing pengelana. Kamu tak berhak di sini!"
Aku tersinggung. Tapi aku sudah sering mendengar kata-kata ini sehingga tak terpengaruh dan tetap asyik mengunyah.
"Nero, berhenti. Itu jatah kami!" Kucing hitam kali ini lebih berani.
Aku memandang keduanya galak. "Bukankah kita para kucing itu bebas. Kita bebas berkelana. Makanan ini cukup buat kita semua, kenapa dipersoalkan?"
Kedua kucing itu tak suka dengan jawabanku. Keduanya mulai menggeram. Aku sedang tak ingin berkelahi. Kucing-kucing lainnya yang sedang tak ingin berkelahi pun menepi. Kini hanya ada aku bersama dengan dua kucing itu.
Aku mengambil ancang-ancang. Aku berhasil kabur dengan membawa kepala ikan.
---
Aku berlari kencang. Aku menemukan kebun kosong dan bersembunyi di sana. Mereka tak lagi mengejarku. Aku Nero yang cerdik dan lincah. Tenagaku masih seperti dulu.
Aku jadi lelah setelah berlarian. Aku menemukan air di sebuah kaleng. Sisa hujan semalam. Aku meminumnya lalu aku tertidur.