Bulan Ramadan ini cuaca penuh terik. Belum genap pukul delapan pagi, tapi keringatku mengucur dari balik bajuku, seperti gerimis. Langit begitu kelihatan terang, seperti hampir mendekati tengah hari. Ketika tiba di kantor dan menikmati AC yang dingin, aku terpikir oleh adikku, Fitri.
Fitri sudah setahun ini tinggal bersamaku. Ayahku sudah meninggal dan Ibu menikah lagi dan aku masih menyimpan rasa marah sehingga enggan tinggal bersama keluarga barunya.Aku menyewa rumah petak yang mungil ini dan Fitri memilih bersamaku daripada Ibu dan keluarga barunya.
Fitri tak pernah berkeluh kesah. Ia pendiam dan hanya berbicara jika aku bertanya kepadanya. Aku tak tahu apakah keputusan Ibu mempengaruhinya. Ia tak menangis. Ia seperti Fitri biasanya, hanya diam dan tenang. Aku jadi malu karena histeris ketika Ibu menyampaikan niatannya itu. Entah apa yang kupikirkan saat itu, apakah aku marah karena Ibu memiliki keluarga baru atau karena aku takut kehilangan Ibu.
Fitri tadi nampak hendak menyampaikan sesuatu. Aku menunggunya dengan tak sabaran karena takut terlambat. Mungkin melihatku nampak gelisah, ia tak jadi mengatakan sesuatu kepadaku. Ah adik kecilku, ada apa denganmu?
Kami beda 12 tahun. Ibu tak mengira saat itu hamil. Fitri bagi anugerah di keluarga kami. Ayah jadi kembali sering di rumah, ia mulai enggan lembur. Ia suka menghabiskan waktu bersama Fitri kecil. Aku sendiri tak keberatan karena dulu memang pernah ingin memiliki adik perempuan.
Hari ini berlalu begitu cepat. Sebentar lagi pukul empat sore. Aku kemudian mengetik, menanyakan adikku menu berbuka yang diinginkannya. Ia hanya menjawab ikan goreng. Aku tersenyum. Fitri memang suka makan ikan.
Adikku libur lama selama bulan Ramadan. Aku tak ingin membebaninya dengan memasak, meski ia ingin membantu. Akhirnya Fitri hanya kubebani dengan memasak nasi dengan rice cooker. Kadang-kadang ia membantu mengoreng telur atau tempe. Ehm menu hari ini sepertinya cukup dengan jus jagung, ikan goreng, dan sayur lodeh.
Aku bergegas pulang dengan motor tuaku. Motor peninggalan ayah. Sampai di rumah, kulongok sepi. Oh mungkin Fitri ada di kamar.
Di meja makan nasi telah matang, ada sepiring tempe goreng, kerupuk, dan dua gelas teh manis yang ditutup. Aku mencari-cari Fitri ia tak nampak. Aku pun menaruh makanan yang kubeli dalam piring dan kemudian mandi sore agar segar.
Fitri tak ada hingga aku usai mandi. Kemana dirinya? Apakah dia bermain dengan tetangga, pikirku. Lima menit jelang waktu berbuka, ia baru terlihat. Ia menegurku dan kemudian bergegas ke kamar mandi. Kami kemudian berbuka puasa bersama.
Aku bertanya apa yang dilakukannya seharian. Ia berkata jika ia selama liburan suka pergi ke perpustakaan yang dekat dengan kelurahan. Ia ke sana sendirian soalnya anak-anak tetangga tidak antusias dan lebih suka bermain boneka.
Jus jagung itu terasa lembut dan segar. Ah energiku pulih.
Fitri kemudian meminta ijinku. Ia ingin mengoreng ikan. Katanya sayang jika beli di luar. Ia bisa menggoreng ikan dan tempe. Aku hendak melarangnya karena minyak suka meletus saat menggoreng ikan.
Ia bersikeras. Ia tak takut akan kena minyak. Ia berkata dulu ia suka membantu Ibu menggoreng ikan. Mendengar Ibu disebut, tenggorokanku seperti disiram air dingin. Ibu pada awal puasa menelponku.Aku menjawab sekedarnya. Ia menanyakan kabar Fitri dan kujawab singkat, ia baik-baik saja.
Hari-hari puasa berikutnya aku hanya membeli menu takjil, sayur, dan tambahan lauk lainnya sekiranya Fitri bosan makan ikan. Ia sepertinya memang sangat suka ikan. Ikan selepas sahur biasanya tak bersisa. Aku sih tak mengapa karena harga ikan memasak sendiri masih lebih murah daripada ketika aku membelinya matang.
Dan seperti hari-hari kemarin Fitri tak nampak hingga jelang waktu berbuka. Ia seperti robot, menegurku, lalu bergegas ke kamar mandi dan kemudian ke meja makan. Kami masih tak banyak bercakap-cakap meskipun waktu Ramadan ini waktuku bersamanya lebih banyak.
Hingga suatu ketika aku merasa penasaran. Aku bertanya ke tetangga, kemana biasanya Fitri pergi. Bu Rida yang anaknya sebaya Fitri menjawab, jika ia beberapa kali melihat Fitri di kebun kosong sambil membawa buku. Oh, aku memang melihat ia membawa buku dan tas ketika kembali ke rumah. Mungkin Fitri memang ingin suasana baru saat membaca buku.
Besok aku sudah memasuki libur lebaran. Aku bisa seharian di rumah bersama adikku. Ibu menelponku dan bertanya apakah ia bisa menengokku saat lebaran jika aku tak mau pergi ke tempat tinggalnya. Aku tak memutuskannya, aku tak berniat untuk dua-duanya.
Fitri tetap melakukan kegiatan misteriusnya. Hingga suatu ketika ia nampak gusar ketika aku memintanya tetap di rumah. Ia marah dan kemudian tetap pergi. Ia diam saja setelah itu, aku jadi merasa bersalah.
Besok adalah hari raya. Aku belum memutuskan untuk lebaran ke rumah Ibu. Aku mulai menyiapkan menu lebaran dan kue-kue kering yang kubeli di teman kantor. Aku menyiapkan mukenaku dan mukena Fitri. Tapi Fitri tak kunjung kelihatan.
Hingga Maghrib tiba, Fitri tak pulang. Aku gelisah, kemana adikku itu. Ketika adzan isya berkumandang dan Fitri belum kelihatan, aku pun tak sabaran. Hapenya dimatikan.Aku kemudian bertanya ke tetangga, mereka tak tahu dimana Fitri.
Aku jadi ingat Bu Rida pernah berkata tentang kebun kosong. Aku pun berjalan menerka-nerka kebun kosong mana yang sering dikunjungi Fitri. Langit begitu gelap. Lampu jalanan temaram. Aku menggunakan lampu senter hape untuk membantuku menemukan Fitri. Aku takut. Aku takut kehilangan adikku setelah kehilangan ibuku.
Aku telah berjalan lebih dari satu kilometer. Aku hampir berbalik, mengambil motor dan meminta bantuan para tetangga. Lalu aku mendengar suara kucing. Di balik puing-puing bangunan di kebun kosong, aku mendengar suara anak kucing dan anak manusia yang menentramkannya. Itu suara Fitri.
Aku menyorot kebun kosong itu dan memanggil nama Fitri. Ia ada di situ. Bersamanya ada dus berisi anak-anak kucing. Oh itu rahasia Fitri. Ia nampak takut dan marah. Aku mendekatinya perlahan dan memeluknya. Ia meronta-ronta dan menangis.
Rupanya Fitri sudah lama menyimpan rahasia tentang anak kucing itu. Ia takut aku tak memperbolehkan merawat anak kucing itu. Setiap melihat anak kucing itu ia teringat akan rumah, ketika kami masih lengkap berkumpul. Ia rindu masa-masa itu.
Aku ikut menangis. Aku juga rindu Ibu. Aku membantu Fitri mengangkat kardus berisi anak kucing, berjalan menuju rumah. Ia memegang pinggangku. Nanti setelah tiba di rumah, aku akan menelpon Ibu dan mengijinkannya untuk berkunjung ke rumah kecil kami bersama keluarga barunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H