Jus jagung itu terasa lembut dan segar. Ah energiku pulih.
Fitri kemudian meminta ijinku. Ia ingin mengoreng ikan. Katanya sayang jika beli di luar. Ia bisa menggoreng ikan dan tempe. Aku hendak melarangnya karena minyak suka meletus saat menggoreng ikan.
Ia bersikeras. Ia tak takut akan kena minyak. Ia berkata dulu ia suka membantu Ibu menggoreng ikan. Mendengar Ibu disebut, tenggorokanku seperti disiram air dingin. Ibu pada awal puasa menelponku.Aku menjawab sekedarnya. Ia menanyakan kabar Fitri dan kujawab singkat, ia baik-baik saja.
Hari-hari puasa berikutnya aku hanya membeli menu takjil, sayur, dan tambahan lauk lainnya sekiranya Fitri bosan makan ikan. Ia sepertinya memang sangat suka ikan. Ikan selepas sahur biasanya tak bersisa. Aku sih tak mengapa karena harga ikan memasak sendiri masih lebih murah daripada ketika aku membelinya matang.
Dan seperti hari-hari kemarin Fitri tak nampak hingga jelang waktu berbuka. Ia seperti robot, menegurku, lalu bergegas ke kamar mandi dan kemudian ke meja makan. Kami masih tak banyak bercakap-cakap meskipun waktu Ramadan ini waktuku bersamanya lebih banyak.
Hingga suatu ketika aku merasa penasaran. Aku bertanya ke tetangga, kemana biasanya Fitri pergi. Bu Rida yang anaknya sebaya Fitri menjawab, jika ia beberapa kali melihat Fitri di kebun kosong sambil membawa buku. Oh, aku memang melihat ia membawa buku dan tas ketika kembali ke rumah. Mungkin Fitri memang ingin suasana baru saat membaca buku.
Besok aku sudah memasuki libur lebaran. Aku bisa seharian di rumah bersama adikku. Ibu menelponku dan bertanya apakah ia bisa menengokku saat lebaran jika aku tak mau pergi ke tempat tinggalnya. Aku tak memutuskannya, aku tak berniat untuk dua-duanya.
Fitri tetap melakukan kegiatan misteriusnya. Hingga suatu ketika ia nampak gusar ketika aku memintanya tetap di rumah. Ia marah dan kemudian tetap pergi. Ia diam saja setelah itu, aku jadi merasa bersalah.
Besok adalah hari raya. Aku belum memutuskan untuk lebaran ke rumah Ibu. Aku mulai menyiapkan menu lebaran dan kue-kue kering yang kubeli di teman kantor. Aku menyiapkan mukenaku dan mukena Fitri. Tapi Fitri tak kunjung kelihatan.
Hingga Maghrib tiba, Fitri tak pulang. Aku gelisah, kemana adikku itu. Ketika adzan isya berkumandang dan Fitri belum kelihatan, aku pun tak sabaran. Hapenya dimatikan.Aku kemudian bertanya ke tetangga, mereka tak tahu dimana Fitri.
Aku jadi ingat Bu Rida pernah berkata tentang kebun kosong. Aku pun berjalan menerka-nerka kebun kosong mana yang sering dikunjungi Fitri. Langit begitu gelap. Lampu jalanan temaram. Aku menggunakan lampu senter hape untuk membantuku menemukan Fitri. Aku takut. Aku takut kehilangan adikku setelah kehilangan ibuku.