Pernahkah Kalian terbangun dan kemudian bertanya-tanya dimana Kalian sedang berada saat ini? Aku dulu berkali-kali mengalaminya ketika masih hidup berpindah-pindah. Aku kebingungan dan bertanya kepada diriku sendiri, aku sekarang di Malang, Surabaya, atau sedang di Jakarta? Baru kemudian ketika memiliki rumah sendiri dan menetap,mimpi dan perasaan itu lambat-laun menghilang. Aku sudah memiliki akar baru.
Setelah lulus SMA, aku tidak lagi tinggal di kota Malang. Selama menempuh pendidikan di kampus ujung timur Surabaya, aku berpindah-pindah kosan, mencari mana yang paling nyaman. Setelah lulus dan bekerja di Jakarta, aku juga mencobai beberapa tempat tinggal sebelum kemudian menemukan kamar di loteng yang tenang.
Tempat tinggal itu bukan sekedar sarang. Ada ikatan batin di dalamnya sehingga bisa jadi kita tidak merasa cocok dan ingin tinggal di sana, meski tempatnya murah atau fasilitasnya menarik. Aku berpikiran bukan hanya aku yang memutuskan tinggal di sana, mungkin mereka juga punya andil memilih penghuninya.
Di sana kita menghabiskan waktu setelah beraktivitas di luar. Di tempat tersebut kita tidak lagi bersembunyi dari topeng dan menunjukkan jati diri kita. Kita bebas menangis, tertawa, dan merenung apakah kehidupan saat ini sudah seperti yang dimimpikan atau masih harus berjuang dengan keras. Oleh karenanya tak heran jika sebuah tempat tinggal menunjukkan karakter seseorang, apakah ia orang yang terbuka, pemalu, seorang pecinta seni, dan sebagainya.
Aku sendiri meskipun berupaya agar kosanku nampak nyaman tapi merasa ada yang kurang. Kamar kosku ini yang berada di loteng dan sepi memang nyaman, tapi aku merindukan kucing-kucing di sekitarku. Sudah lama aku tak memelihara kucing sejak memutuskan berkuliah di luar kota.Dulu di Malang selalu ada kucing di sekitarku. Aku juga rindu koleksi bukuku,yang kukumpulkan dengan susah payah selama besar di Malang dan tinggal di Surabaya. Kosanku nyaman tapi belum seperti rumah.
Setelah berkeluarga, kami langsung menempati sebuah rumah kontrakan. Rumahnya mungil tapi lokasinya strategis, tidak jauh dari jalan raya dan dekat dengan kantor suami. Kami merencanakan untuk tidak lama-lama tinggal di kontrakan. Setahun dua tahun di kontrakan kiranya cukup, sambil kami mencari rumah yang sesuai dengan harapan dan bujet.
Aku kurang merasa terhubung dengan rumah kontrakan tersebut. Kardus-kardus berisi barang-barangku ketika kuberpindah dari kosan ke rumah kontrakan ini sebagian tidak kubuka, kubiarkan saja. Kami tinggal ala kadarnya saja dan merasa rumah kontrakan ini hanya semacam persinggahan sementara.
Rasa kuatirku semakin bertambah ketika rumah kontrakan kami hendak digunakan pemilik. Kami belum menemukan rumah, sementara kami harus segera menemukan tempat tinggal baru. Kami pun kemudian lagi-lagi tinggal di kontrakan. Biaya sewanya lebih mahal dan tempatnya kurang nyaman karena sekelilingnya sangat ramai. Apa boleh buat hanya rumah itu yang tersedia dan biaya sewanya sesuai anggaran kami. Kondisi sekeliling rumah tersebut memacu kami untuk bergegas mendapatkan rumah.
Itu Dia Rumahku dan Jalan Mencapainya
Rumah itu tak masuk dalam koridor pencarianku. Kami sudah agak penat melakukan pencarian rumah setiap akhir pekan. Ketika kami hendak pulang, kami tertarik ke sebuah jalan masuk ke sebuah perumahan yang besar. Waktu itu penampilan jalan perumahan tersebut tidak semulus saat ini. Jalannya berlubang-lubang, kami berasa off road.
Yang bikin kami suka tempat ini selain jalannya yang lebar, tempatnya rindang karena di kanan kiri banyak pepohonan. Kami memasuki gang demi gang dan kemudian kami menemukan jalan buntu. Sepertinya kami dicurigai dan ditanyai oleh seorang Ibu paruh baya yang ternyata istri ketua RT. Kami pun berkenalan dan menyampaikan tujuan kami. Tak dinyana kami kemudian mendapat informasi rumah dijual dari Ibu tersebut. Rumah second, sudah berdiri sekitar delapan tahun. Rumahnya satu gang dengan dirinya.
Cash Keras, Cash Bertahap dan KPR
Kami semangat dan berniat membelinya. Tapi kemudian sempat was-was dan ingin mundur ketika pemiliknya berkata rumah ini dijual cepat. Ia perlu dana cepat sehingga harga rumahnya dijual lebih murah  dibandingkan harga pasaran. Ia mengisyaratkan rumah ini dijual dengan cash keras. Kami berdua cenat-cenut memikirkan harus mampu membayarnya dalam waktu satu bulan. Jika merasa tidak mampu maka rumah itu akan dijual ke orang lain. Kami dimintai uang tanda jadi sebesar Rp 10 juta saat itu juga. Awalnya kami diberi waktu satu bulan untuk melunasinya, tapi kemudian ia berubah pikiran karena banyak peminatnya. Namun karena tidak enak kepada saya yang sudah memberikan tanda jadi, maka ia meminta kami membayar duapertiga pada dua minggu, selebihnya pada akhir bulan. Jika misalkan dalam dua minggu tidak mampu membayar duapertiganya, maka uang tanda jadi tersebut akan dikembalikan.
Karena pada saat itu tidak punya uang sebesar itu, saya pun meminjam dana dari kakak. Suami meyakinkan saya agar kami berani dan bertekad keras untuk membeli rumah tersebut. Ia sendiri juga sudah menyukai kawasan dan rumah tersebut.
Kami pun bersusah payah mengumpulkan dana untuk membayar termin pertama. Kami mengumpulkan seluruh tabungan, menjual logam emas yang kami miliki, dan mencairkan seluruh deposito. Kami merasa lega ketika berhasil memenuhi tenggat tersebut, tapi kemudian pusing masih harus mengumpulkan dana untuk termin berikutnya. Kami berupaya mencoba KPR tapi karena prosesnya tidak bisa cepat maka kami pun terpaksa meminjam dana dengan sistem kredit konsumtif. Karena menggunakan kredit konsumtif maka prosesnya pun sangat cepat. Untunglah waktu itu sedang ada promo kredit pegawai dimana bunganya hampir sama dengan bunga KPR. Ya, akhirnya kami melunasi pembayaran ke pemilik. Kami hanya berhutang sepertiga harga rumah dengan jangka waktu lima tahun.
Membeli Apartemen, Cash Keras, Bertahap, atau KPR/KPA?
Beberapa waktu lalu mengunjungi bagian pemasaran sebuah apartemen. Setelah bebas mengangsur, kami ingin berinvestasi dan menjajagi pangsa apartemen. Di dekat tempat tinggal ada apartemen yang prospeknya bagus. Kami pun menuju apartemen tersebut, oleh pihak marketingnya kami disodori tawaran untuk cash keras, cash bertahap dan kredit kepemilikan apartemen (KPA).
Untuk cash bertahap  kami bisa mencicilnya selama tiga tahun, dimana tiga bulan di awal nominalnya lebih besar dibandingkan sembilan bulan sisanya. Nominalnya lagi-lagi membuat kami kecut. Selisihnya juga cukup besar jika dibandingkan dengan sistem KPA, berkisar sekitar 50-60 jutaan.
Jika dengan KPA, kami masih bernafas lega karena tenornya bisa hingga sepuluh tahun. Alhasil biaya angsurannya relatif lebih rendah tiap bulannya, hanya memang harga apartemennya memang lebih mahal. Proses kepengurusan KPA-nya juga bakal dibantu oleh pihak pengembang.
Saat ini kami masih mikir-mikir, apakah jadi mengambil apartemen atau tanah saja. Apartemen bisa kami sewakan ke para pekerja kantoran, sedangkan tanah bisa ditatani terlebih dahulu. Hemmm jika jadi mengambilnya maka kami sepertinya memilih KPA. Tawaran KPA ada banyak sih, salah satunya bisa dengan KPR Maybank yang menawarkan tenor hingga 30 tahun.
KPR Maybank ini bisa digunakan untuk membeli rumah, apartemen, kavling dan ruko/rukan, serta renovasi rumah. Pilihannya banyak bisa KPR tenor 30 tahun, KPR fix, KPR floating dengan bunga fair, KPR take over, dan KPR bebas bunga dengan cara bundling dengan tabungan Maybank. Wah pilihannya ada banyak nih, jadi tertarik untuk beli apartemen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H