Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Antara Rumah, Kucing, Keterikatan, dan Meraihnya

18 Oktober 2017   15:03 Diperbarui: 18 Oktober 2017   15:09 1006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dulu aku suka hunting rumah tiap akhir pekan (dokpri)

Pernahkah Kalian terbangun dan kemudian bertanya-tanya dimana Kalian sedang berada saat ini? Aku dulu berkali-kali mengalaminya ketika masih hidup berpindah-pindah. Aku kebingungan dan bertanya kepada diriku sendiri, aku sekarang di Malang, Surabaya, atau sedang di Jakarta? Baru kemudian ketika memiliki rumah sendiri dan menetap,mimpi dan perasaan itu lambat-laun menghilang. Aku sudah memiliki akar baru.

Setelah lulus SMA, aku tidak lagi tinggal di kota Malang. Selama menempuh pendidikan di kampus ujung timur Surabaya, aku berpindah-pindah kosan, mencari mana yang paling nyaman. Setelah lulus dan bekerja di Jakarta, aku juga mencobai beberapa tempat tinggal sebelum kemudian menemukan kamar di loteng yang tenang.

Tempat tinggal itu bukan sekedar sarang. Ada ikatan batin di dalamnya sehingga bisa jadi kita tidak merasa cocok dan ingin tinggal di sana, meski tempatnya murah atau fasilitasnya menarik. Aku berpikiran bukan hanya aku yang memutuskan tinggal di sana, mungkin mereka juga punya andil memilih penghuninya.

Di sana kita menghabiskan waktu setelah beraktivitas di luar. Di tempat tersebut kita tidak lagi bersembunyi dari topeng dan menunjukkan jati diri kita. Kita bebas menangis, tertawa, dan merenung apakah kehidupan saat ini sudah seperti yang dimimpikan atau masih harus berjuang dengan keras. Oleh karenanya tak heran jika sebuah tempat tinggal menunjukkan karakter seseorang, apakah ia orang yang terbuka, pemalu, seorang pecinta seni, dan sebagainya.

Aku sendiri meskipun berupaya agar kosanku nampak nyaman tapi merasa ada yang kurang. Kamar kosku ini yang berada di loteng dan sepi memang nyaman, tapi aku merindukan kucing-kucing di sekitarku. Sudah lama aku tak memelihara kucing sejak memutuskan berkuliah di luar kota.Dulu di Malang selalu ada kucing di sekitarku. Aku juga rindu koleksi bukuku,yang kukumpulkan dengan susah payah selama besar di Malang dan tinggal di Surabaya. Kosanku nyaman tapi belum seperti rumah.

Aku suka rumah dimana nantinya ada ruang baca atau perpustakaan pribadi (dokpri)
Aku suka rumah dimana nantinya ada ruang baca atau perpustakaan pribadi (dokpri)
Rumah Kontrakan, Strategis Tapi Bikin Was-was

Setelah berkeluarga, kami langsung menempati sebuah rumah kontrakan. Rumahnya mungil tapi lokasinya strategis, tidak jauh dari jalan raya dan dekat dengan kantor suami. Kami merencanakan untuk tidak lama-lama tinggal di kontrakan. Setahun dua tahun di kontrakan kiranya cukup, sambil kami mencari rumah yang sesuai dengan harapan dan bujet.

Aku kurang merasa terhubung dengan rumah kontrakan tersebut. Kardus-kardus berisi barang-barangku ketika kuberpindah dari kosan ke rumah kontrakan ini sebagian tidak kubuka, kubiarkan saja. Kami tinggal ala kadarnya saja dan merasa rumah kontrakan ini hanya semacam persinggahan sementara.

Aku suka tempat tinggal yang kucingnya bisa berlarian (dokpri)
Aku suka tempat tinggal yang kucingnya bisa berlarian (dokpri)
Setiap hari kami mencari-cari info rumah, baik di koran maupun di internet. Hampir setiap akhir pekan kami berkeliling berdasarkan info yang kami kumpulkan tersebut. Kami menuju Depok, Klender, dan daerah-daerah lain yang kiranya sesuai dengan bujet.

Rasa kuatirku semakin bertambah ketika rumah kontrakan kami hendak digunakan pemilik. Kami belum menemukan rumah, sementara kami harus segera menemukan tempat tinggal baru. Kami pun kemudian lagi-lagi tinggal di kontrakan. Biaya sewanya lebih mahal dan tempatnya kurang nyaman karena sekelilingnya sangat ramai. Apa boleh buat hanya rumah itu yang tersedia dan biaya sewanya sesuai anggaran kami. Kondisi sekeliling rumah tersebut memacu kami untuk bergegas mendapatkan rumah.

Itu Dia Rumahku dan Jalan Mencapainya

Rumah itu tak masuk dalam koridor pencarianku. Kami sudah agak penat melakukan pencarian rumah setiap akhir pekan. Ketika kami hendak pulang, kami tertarik ke sebuah jalan masuk ke sebuah perumahan yang besar. Waktu itu penampilan jalan perumahan tersebut tidak semulus saat ini. Jalannya berlubang-lubang, kami berasa off road.

Yang bikin kami suka tempat ini selain jalannya yang lebar, tempatnya rindang karena di kanan kiri banyak pepohonan. Kami memasuki gang demi gang dan kemudian kami menemukan jalan buntu. Sepertinya kami dicurigai dan ditanyai oleh seorang Ibu paruh baya yang ternyata istri ketua RT. Kami pun berkenalan dan menyampaikan tujuan kami. Tak dinyana kami kemudian mendapat informasi rumah dijual dari Ibu tersebut. Rumah second, sudah berdiri sekitar delapan tahun. Rumahnya satu gang dengan dirinya.

Aku suka dengan daerahnya yang asri, dulu jalannya berlubang-lubang, sekarang sudah mulus (dokpri)
Aku suka dengan daerahnya yang asri, dulu jalannya berlubang-lubang, sekarang sudah mulus (dokpri)
Rumah itu sudah tak ditinggali. Rumput liar nan panjang tumbuh membuat kesan rumah yang terurus.Namun halamannya luas, sesuai dengan bayanganku. Aku membayangkan ada pohon, aneka tanaman, dan juga kucing-kucing berlarian. Rumahnya sendiri sedang tapi cukup besar bagi kami berdua. Kami membayangkan punya ruangan khusus hobi. Aku bisa memboyong semua koleksi bukuku ke rumah ini.

Cash Keras, Cash Bertahap dan KPR

Kami semangat dan berniat membelinya. Tapi kemudian sempat was-was dan ingin mundur ketika pemiliknya berkata rumah ini dijual cepat. Ia perlu dana cepat sehingga harga rumahnya dijual lebih murah  dibandingkan harga pasaran. Ia mengisyaratkan rumah ini dijual dengan cash keras. Kami berdua cenat-cenut memikirkan harus mampu membayarnya dalam waktu satu bulan. Jika merasa tidak mampu maka rumah itu akan dijual ke orang lain. Kami dimintai uang tanda jadi sebesar Rp 10 juta saat itu juga. Awalnya kami diberi waktu satu bulan untuk melunasinya, tapi kemudian ia berubah pikiran karena banyak peminatnya. Namun karena tidak enak kepada saya yang sudah memberikan tanda jadi, maka ia meminta kami membayar duapertiga pada dua minggu, selebihnya pada akhir bulan. Jika misalkan dalam dua minggu tidak mampu membayar duapertiganya, maka uang tanda jadi tersebut akan dikembalikan.

Karena pada saat itu tidak punya uang sebesar itu, saya pun meminjam dana dari kakak. Suami meyakinkan saya agar kami berani dan bertekad keras untuk membeli rumah tersebut. Ia sendiri juga sudah menyukai kawasan dan rumah tersebut.

Kami pun bersusah payah mengumpulkan dana untuk membayar termin pertama. Kami mengumpulkan seluruh tabungan, menjual logam emas yang kami miliki, dan mencairkan seluruh deposito. Kami merasa lega ketika berhasil memenuhi tenggat tersebut, tapi kemudian pusing masih harus mengumpulkan dana untuk termin berikutnya. Kami berupaya mencoba KPR tapi karena prosesnya tidak bisa cepat maka kami pun terpaksa meminjam dana dengan sistem kredit konsumtif. Karena menggunakan kredit konsumtif maka prosesnya pun sangat cepat. Untunglah waktu itu sedang ada promo kredit pegawai dimana bunganya hampir sama dengan bunga KPR. Ya, akhirnya kami melunasi pembayaran ke pemilik. Kami hanya berhutang sepertiga harga rumah dengan jangka waktu lima tahun.

Kami menanam mawar agar halaman rumah nampak asri (dokpri)
Kami menanam mawar agar halaman rumah nampak asri (dokpri)
Awalnya hutang terasa lama, tapi akhirnya lunas juga pada bulan Juli lalu. Wah leganya. Kami tidak punya lagi tanggungan. Kami punya rumah sendiri. Aku kemudian memboyong buku-bukuku dan kemudian kucing-kucing pun bertamu. Bagian paling menyenangkan ketika Nero lahir dan besar di rumah ini. Kehadiran kucing lucu nan nakal ini membuat tempat tinggalku benar-benar seperti rumah.

Setelah ada Nero dan kini si Mungil, rumah sudah berasa benar-benar seperti rumah (dokpri)
Setelah ada Nero dan kini si Mungil, rumah sudah berasa benar-benar seperti rumah (dokpri)
Dari pengalaman membeli rumah ini, proses mengangsur tidak seberat yang kubayangkan. Bahkan waktu itu kami masih bisa membeli tanah di kawasan Jonggol yang diniatkan menjadi perumahan dengan sistem cash bertahap. Bedanya cash keras dengan cash bertahap adalah membayarnya tidak langsung otomatis lunas dalam jangka waktu minimal satu bulan setelah kesepakatan, tapi masih bisa lega karena waktu melunasinya dengan cicilan bisa hingga tiga tahun. Sistem ini banyak ditawarkan ke pengembang dengan berbagai kemudahan, yaitu tidak perlu mengurus banyak dokumen , mencicilnya langsung ke pengembang, dan durasi mencicilnya bisa tiga tahun. Karena harga tanah saat itu tidak mahal, maka saya pun memilih sistem cash bertahap. Perbulannya tidak sampai sejuta masa itu.

Membeli Apartemen, Cash Keras, Bertahap, atau KPR/KPA?

Beberapa waktu lalu mengunjungi bagian pemasaran sebuah apartemen. Setelah bebas mengangsur, kami ingin berinvestasi dan menjajagi pangsa apartemen. Di dekat tempat tinggal ada apartemen yang prospeknya bagus. Kami pun menuju apartemen tersebut, oleh pihak marketingnya kami disodori tawaran untuk cash keras, cash bertahap dan kredit kepemilikan apartemen (KPA).

Membeli rumah, apartemen atau tanah? Kalau tanah bisa didesain sesuka hati (dokpri)
Membeli rumah, apartemen atau tanah? Kalau tanah bisa didesain sesuka hati (dokpri)
Dari berbagai pilihan tersebut memang cashkeras jatuhnya paling murah. Selisih harga apartemen antara cash keras dan harga ketika menggunakan KPA lumayan besar, hampir Rp 100 juta. Namun, kami tidak punya dana sebesar itu dan rasanya bakal memberatkan jika kami menggunakan  kredit konsumtif. Apalagi kredit konsumtif rata-rata hanya berkisar 5-6 tahun.

Untuk cash bertahap  kami bisa mencicilnya selama tiga tahun, dimana tiga bulan di awal nominalnya lebih besar dibandingkan sembilan bulan sisanya. Nominalnya lagi-lagi membuat kami kecut. Selisihnya juga cukup besar jika dibandingkan dengan sistem KPA, berkisar sekitar 50-60 jutaan.

Jika dengan KPA, kami masih bernafas lega karena tenornya bisa hingga sepuluh tahun. Alhasil biaya angsurannya relatif lebih rendah tiap bulannya, hanya memang harga apartemennya memang lebih mahal. Proses kepengurusan KPA-nya juga bakal dibantu oleh pihak pengembang.

Saat ini kami masih mikir-mikir, apakah jadi mengambil apartemen atau tanah saja. Apartemen bisa kami sewakan ke para pekerja kantoran, sedangkan tanah bisa ditatani terlebih dahulu. Hemmm jika jadi mengambilnya maka kami sepertinya memilih KPA. Tawaran KPA ada banyak sih, salah satunya bisa dengan KPR Maybank yang menawarkan tenor hingga 30 tahun.

KPR Maybank ini bisa digunakan untuk membeli rumah, apartemen, kavling dan ruko/rukan, serta renovasi rumah. Pilihannya banyak bisa KPR tenor 30 tahun, KPR fix, KPR floating dengan bunga fair, KPR take over, dan KPR bebas bunga dengan cara bundling dengan tabungan Maybank. Wah pilihannya ada banyak nih, jadi tertarik untuk beli apartemen.

KPR yang ditawarkan Maybank beragam, tinggal pilih yang sesuai (dok. maybank.co.id)
KPR yang ditawarkan Maybank beragam, tinggal pilih yang sesuai (dok. maybank.co.id)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun