Ia rupanya cerdik. Ia memberiku saran bagaimana jika aku mencobai naik kereta yang sama menuju rute sebaliknya. Ide yang sangat cemerlang. Tapi bagaimana caranya?
Sebelumnya ia memberitahuku rute singkat dari sel menuju peron. Ia dan aku membicarakan siasat dengan bahasa Jawa. Aku akan menumpahkan makanan dan membuat kegaduhan. Sumi, nama pembawa makanan itu akan histeris dan mengalihkan perhatian, lalu aku akan berlari kencang.
Percayalah ide itu hanya seru di kertas. Saat ini aku begitu panik dan ingin pipis saking ketakutannya. Ada banyak petugas mengejarku dengan senapan. Aku berlari menuju gerbong kereta yang siap berangkat. Aku berlari sekuat tenaga, sebuah peluru melewatiku gagal menyentuhku. Aku terus berlari. Akhirnya aku berhasil masuk ke gerbong. Mereka masih mengejarku dan penumpang di gerbong nampak ketakutan. Tapi pemandangan di belakangku lambat laun kabur. Penumpang di kanan-kiriku juga semakin mengabur. Lalu keretaku seperti masuk ke terowongan waktu yang gelap dan semuanya serba kabur.
Aku merasa pusing dan ketika membuka mataku, aku telah berada di kereta yang kunaiki seperti sebelumnya.
Apakah aku tertidur dan bermimpi? Entahlah, jika mimpi pastinya mimpi buruk.
Aku berkata baterai ponselku mati. Aku meminjam powerbank milik Syifa. Ya lima menit kemudian ponselku hidup. Aku siap memotret keseruan kompasianer membuat film pendek. Tapi gambar di ponselku membuatku tercenung. Itu gambar sudut-sudut bangunan stasiun Tanjung Priok dari jendela sempit di sel. Astaga jadi yang tadi itu nyata!!!
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H