Aku lalu bertanya ke seorang bapak-bapak berkumis dengan blangkon dan beskap. Ia nampak berwibawa. Aku mengucapkan permisi dan bertanya pintu keluar untuk menunggu angkutan umum menuju Ancol. Ia nampak kebingungan dengan pertanyaanku dan kemudian menjawab dengan bahasa Indonesia bercampur bahasa Belanda. Aku melongo tidak paham dengan kata-katanya. Lalu aku bertanya hal serupa ke pasangannya yang mengenakan kebaya dan bersanggul. Ia juga nampak bingung dan menjawab tidak tahu dalam bahasa krama alus.
Aku menggaruk-garuk kepalaku. Lalu memutuskan bertanya ke petugas penjaga pintu keluar. Wah penjaganya bule juga. Pasti ini syuting era kolonial. Aku diam-diam salut dengan sutradaranya yang begitu detail mengurus kostum dan pernak-pernik untuk keperluan syuting.
Aku putuskan untuk bertanya dalam bahasa Inggris tentang pintu keluar yang mengarah ke Ancol. Ia nampak bingung dan rekannya mencurigaiku. Ia menjawabku dalam bahasa Belanda. Lalu mengeluarkan kata perintah yang sepertinya berarti menuduhku. Aku menduga-duganya. Lalu entah kenapa kemudian aku berlari kencang dan mereka mengejarku. Aku sudah hampir di pintu keluar. Aku pasti bakal lolos dari kejaran mereka. Eh ini film apaan sih, ceritanya aku jadi figuran nih?
***
Wuih aku lolos. Pemandangan di luar mengejutkanku. Sangat berbeda dengan yang kulihat terakhir kali ke sini. Tidak ada keramaian angkutan umum dan ojek. Jakarta utara yang ini lebih lengang dan suasananya membuat perasaanku mencelos. Aku menoleh ke belakang, melihat bangunan stasiun ini. Seperti hotel, seperti bangunan asli stasiun Tanjung Priok jaman dulu.
Singkat cerita, aku ditangkap. Aku diinterogasi macam-macam dan para petugas bule itu nampak curiga dengan bahasa Indonesiaku dan mencurigaiku bagian dari gerakan pemuda yang dipimpin Soekarno cs. Aku melirik catatan tanggal. Astaga saat ini tahun 1928, pantas mereka mencurigaiku. Pakaianku juga pasti aneh, celana dan kaus bukan tren masa itu.
Aku ditempatkan di sel yang dijaga ketat. Ponselku tentunya tak berfungsi tapi kalau berfungsi pasti Arum cs kaget dengan ceritaku. Percayalah, bangunan Stasiun Tanjung Priok ini sangat megah pada jaman kejayaannya, bahkan aku sempat melirik ada penginapannya segala sebelum aku dimasukkan ke sel di kantor.
Aku bosan dan bingung apa yang harus kulakukan di sini. Aku mendengar kata-kata Digul. Ampun deh kalau aku dikirim ke sana. Aku lalu memutuskan untuk memotret beberapa kali sebelum baterai ponselku habis.
***
Aku tak punya kawan bercakap. Eh ada sih, si pengantar makanan yang berbahasa Jawa. Ia rupanya saudara perempuan berkebaya yang kutemui sebelumnya. Ia nampak prihatin melihatku sekaligus senang bisa berbahasa Jawa di antara lingkungan yang lebih sering berbahasa Belanda.