Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Bulan Kemerdekaan RTC] Wajah Indonesia Tahun 2030 dan 2045

18 Agustus 2016   01:44 Diperbarui: 18 Agustus 2016   02:05 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Negeri Hijau (gambar dari akun flickr Pashoukos)

Tahun 2030, Jakarta telah berubah menjadi kota megapolitan yang tak kalah dengan Singapura. Gedung pencakar langit menghiasi jalan-jalan protokol. MRT dan LRT menjadi mode transportasi utama. Lini media sosial semakin hiruk pikuk dengan berbagai info terkini dimana setiap warganya hampir selalu terhubung dengan gadget.

Di Sumatera, TransSumatera telah mengubah wajah Pulau Sumatera menjadi lebih maju dan menyamai pulau Jawa-Bali. Sulawesi, Kalimantan dan Papua juga memiliki infrastruktur dan mode transportasi yang modern. Hampir tak ada perbedaan antara kemajuan di Jawa dan pulau-pulau lainnya, semuanya nampak modern dan maju secara beriringan.

Anya, Presiden yang baru dilantik tahun 2029 nampak tidak bersemangat hari ini. Pandangannya menerawang jauh seakan menembus kaca jendela yang membatasi dirinya dengan lingkungan di luar.

Selama setahun memimpin pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup tinggi, bahkan tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Indonesia telah merebut kembali julukan macan Asia Tenggara.

Pembangunan infrastruktur juga semakin giat dilakukan di eranya. Kini warga yang berdekatan dengan lokasi gempa merasa damai dan tentram karena rumahnya didesain tahan gempa juga ada sensor gempa dan tsunami yang berintegrasi dengan sistem manajemen bencana nasional.

Anya menghela nafas panjang, seharusnya ia merasa lega dan bangga dengan kerja keras 365 harinya. Ia patut bersulang untuk dirinya.

Ada sesuatu yang menggelisahkannya. Beberapa waktu lalu ia memimpin upacara peringatan HUT ke-85. Seluruh rakyat bersorak dan antri menyalaminya. Tidak ada aksi huru hara ataupun gerakan separatis di bawah pemerintahannya. Semuanya nampak damai dan mencintai dirinya.

Anya seharusnya lega dan bangga.

Seakan-akan tersambar petir, Anya nampak begitu terkejut dan pucat. Berikutnya ia merasa mendapat pencerahan.

Ia mengumpulkan menterinya dan mengemukakan ide yang seakan merasukinya. Para 17 menteri yang begitu loyal kepadanya kontan terperangah mendengar paparannya. Benak mereka seolah terpapar mendung yang sebentar lagi akan turun hujan tak berkesudahan. Apakah presidenku menjadi gila? beberapa menteri saling berbisik dan berdecak-decak gemas setelah Anya membubarkan rapatnya.

Seharusnya Anya meneruskan pembangunan jalan, transportasi masal dan gedung-gedung tinggi sehingga Indonesia semakin menjadi negara yang modern dan futuristik. Namun, ide itu seolah menguasainya sehingga ia memutar haluan. 15 tahun lagi Indonesia akan berusia tepat 100 tahun maka tepat pada usia itu Indonesia sepatutnya bisa disejajarkan dengan negara adidaya, namun Anya seolah menyabotase harapan tersebut.

Bukannya meneruskan jalan tol berkilo-kilo meter, Anya menyudahinya. Pembangunan jalan, transportasi, gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, hotel, dan apartemen ia rasa sudah cukup. Sistem pendidikan juga sudah cukup mapan dan Indonesia telah masuk ke jajaran 20 besar sistem pendidikan terbaik, sehingga ia rasa para akademisi dan pengamat pendidikan bisa menjaga kualitas pendidikan dengan sendirinya. Laju pertumbuhan penduduk juga telah dikontrol sehingga tidak membludak seperti 10 tahun silam.

Seharusnya Anya tidak terlalu memaksakan diri dan meneruskan programnya.

Empat tahun berikutnya ia memutuskan akan berfokus pada pembangunan pertanian dan kelautan. Seluruh daerah gundul akan dihijaukan. Setiap individu diwajibkannya bertanam dengan media apapun. Sedangkan untuk kelautan ia memberikan sanksi bagi nelayan dan penangkap ikan lainnya yang melewati batas jumlah penangkapan tiap harinya. Tidak boleh ada warganya yang menyantap bayi ataupun telur ikan.

Seharusnya Anya tak mengemukakan ide gilanya dan meneruskan saja programnya terdahulu.

Para warga yang dulu menyanjungnya kini menghujaninya dengan caci maki. Para wakil rakyat gemas ingin mencopotnya. Sebagian menterinya juga kasak kusuk berkonspirasi untuk menggagalkan usahanya. Hanya menteri pertanian, kelautan, dan lingkungan hidup yang makin loyal dan mendukungnya. Nasib Anya sebagai presiden bak di ujung tanduk. Anya siap menerima konsekuensinya, ia tak akan mundur dengan gagasannya.

Tiga bulan kemudian Jakarta mulai berubah fisik. Taman-taman makin bertumbuhan dan hutan kota seolah makin rindang. Setahun kemudian ada berbagai daerah berwarna hijau yang muncul di berbagai tempat di belasan ribu pulau di Indonesia. Pemandangan sebagai negara yang mulai tumbuh sebagai negara modern mulai tertepis dengan kehadiran pepohonan yang makin mudah dijumpai di sudut-sudut kota.

Anya memandang pepohonan dari balik kaca jendelanya. Hijau itu indah, ia tersenyum puas.

Para menteri semakin ribut dan tidak menyukai gagasannya. Namun sebagian rakyat yang membenci idenya lambat laun kembali mendukungnya. Surabaya tidak lagi begitu panas, demikian juga Kupang dan daerah di Nusa Tenggara Timur. Malang dan Bandung kembali menjadi sejuk. Perwakilan masyarakat adat pun kemudian mengunjungi istana dan memuji tindakannya.

Mereka yang mengaku wakil rakyat sebagian membenci program kembali ke alam. Mereka menyalahkan Anya dan menganggapnya sebagai pemimpin yang bodoh. Anya hanya diam dan siap menerima konsekuensinya.

Tapi rakyat tidak tertipu dengan muslihat sebagian wakil rakyat. Setahun program kembali ke alam dijalankan mereka mendapatkan Indonesia kembali menjadi hijau dan indah. Udara segar kembali hadir. Tak apa-apalah ada kewajiban bertanam bagi setiap orang. Tak mengapa tak boleh menyantap telur ikan. Mereka menyukai alam yang kembali hijau menyejukkan mata.

Selama lima tahun pemerintahan Anya Indonesia tak nampak sebagai kota yang futuristik. Indonesia kembali bak permadani hijau, bak mengulang sejarah ratusan tahun silam. Tak ada lagi kekuatiran kekurangan pangan, bencana banjir juga nol, dan udara juga semakin segar.

Ketika menghadiri upacara peringatan HUT ke-100 Republik Indonesia, Anya masih bisa berjalan dengan gagah meski usianya sudah menginjak 60 tahun. Udara bersih membuatnya tetap sehat. Di mana-mana nampak pepohonan dan aneka tanaman yang indah. Ia menghirup wangi mawar perlahan, menyesapinya dan kemudian tersenyum lega.

Indonesia usia 100 tahun makin tak nampak sebagai negara futuristik. Teknologinya memang terus berkembang dan rakyatnya semakin cerdas mengikuti kemajuan, akan tetapi tidak ada lagi penambahan gedung pencakar langit ataupun penambahan mobil-mobil mewah. Rakyatnya nampak puas dengan yang dimilikinya serta lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga dan alam. Selubung hijau yang indah seolah membungkus Indonesia, menjadi negara terasri dan terindah di dunia.

Nb: Karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Even Bulan Kemerdekaan RTC.

Logo RTC
Logo RTC

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun