“Ihhh mas tadi ketus banget...sudah ga cakep lagaknya kayak yang punya warnet aje..,” Maya keki dan diiye-iyein sama Ika.
Ben kesal bukan maen. Ia bersungguh-sungguh untuk membasmi jempol setan. Ia lalu membuat petisi online agar vote dan jempol dihilangkan di seluruh lini. Ia juga berkirim surel ke pengelola pesbuk dan kempesianu untuk menghilangkan fitur jempol dan vote. Tak ada yang menanggapinya. Ia lalu berniat buruk, terburuk. Ia akan menjadi cracker jempol. Mereka yang berental ria di warnetnya akan merasakan jempol yang ia berikan ke temannya akan menghilang. Setelah sekian lama akhirnya ada yang menyadari.
“Yos, Lu kenapa jempol yang Lu kasih ke gue tiba-tiba Lu cabut lagi. Lu marahan sama gue, udah ga friend lagi?!” perempuan berkaca mata itu berkacak pinggang ke teman prianya.
“May Lu kan udah janji bakal slalu ngasih jempol ke foto-foto gue. Mentang-mentang sudah jadi selebgram eh Lu ga pernah ngasih jempol lagi ke gue...” gantian Ika yang marah-marah ke Maya.
Diam-diam Beni meringis kegirangan. Tapi ia tak menyangka jika urusan vote dan jempol itu merambah ke kondisi pertemanan. Gila....jempol setan itu bisa merusak pertemanan dan membikin frustasi.
---
Beni pulang dengan hati girang. Ia sudah membayangkan tidur di kasur empuk. Balas dendamnya sudah terlaksana sedikit demi sedikit.
Beni melihat Nero, kucing tetangganya, menghadang jalannya. Beni berniat menggendong Nero tapi kucing itu malah hendak mencakarnya. Beni terlonjak. Lalu ia memandang kanan kirinya, di sekelilingnya ada banyak kucing. Beni menggaruk-garuk kepalanya, sepertinya lagi musim kawin nih kapan hari.
Beni merasa tak nyaman, sepertinya ada yang aneh. Ya...tak ada manusia selain dirinya. Di sana-sini hanya ada kucing. Di ujung jalan itu yang seharusnya mengarah ke rumahnya malah sebuah aula. Di situ terdapat kursi dan bantalan. Ada kucing besar hitam yang duduk di bantalan tersebut. Nero kemudian meloncat di sisi kucing besar itu.