Dalam hal ini keluarga terjadi berdasarkan hubungan antar anggota keluarga yang dijiwai oleh suasana kasih sayang dan rasa tanggung jawab. Hubungan kekerabatan atau kekeluargaan yang dijalin berdasarkan kasih sayang bukan persaingan atau bahkan diskriminasi menjatuhkan salah satu diantara keduanya.
Adanya ketimpangan “power” antara laki-laki dan perempuan bisa menjadi pemicu kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini tidak terlepas dari stereotip antara laki- laki dan perempuan yang beredar di tengah masyarakat bahwa laki-laki lebih kuat dibanding perempuan. Selain adanya gender power imbalance, ada beberapa faktor yang seringkali menjadi pemicu bahwa perempuan sebagai korban kekerasan. Diantaranya sebagai berikut :
Berpenghasilan rendah dari pasangan: Perempuan dengan pendapatan rendah dibandingkan dengan laki- laki berisiko 3,5 kali lebih besar mengalami kekerasan.
Sedang hamil: Hampir satu dari tiga perempuan menerima perlakuan kekerasan saat sedang hamil karena mereka dianggap sebagai wanita yang hidupnya hanya untuk beranak pinak.
Rentang usia: memiliki umur yang lebih muda dari pasangan cenderung menjadi sasaran kekerasan secara individual. Perempuan yang berusia sekitar 20 hingga 30 tahun ditemukan lebih sering menjadi korban kekerasan.
Perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki disebabkan adanya perbedaan biologis atau jenis kelamin keduanya. Dalam teori nurture melihat perbedaan tersebut sebagai hasil konstruksi budaya dan masyarakat yang menempatkan laki-laki lebih unggul dari posisi perempuan.
Perempuan seringkali dianggap tidak kuat yang memiliki kekuatan fisik lemah, dan emosional, sehingga hanya berhak mengerjakan pekerjaan yang halus, seperti pekerjaan rumah, mengasuh anak, dan sebagainya. Hubungan sosial dilakukan atas dasar ukuran laki-laki tanpa memandang posisi perempuan.
Perempuan tidak berhak melakukan hubungan tersebut, dengan adanya perbedaan semacam ini perempuan selalu tertinggal dalam peran dan fungsinya. Kontribusi perempuan dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dipandang rendah dan berada dibawah laki- laki. . Konstruksi sosial ini tentunya menempatkan perempuan dan laki-laki dalam nilai sosial yang berbeda.
Kekerasan dalam rumah tangga sangat merugikan bagi kehidupan korbannya, kekerasan ini tentunya juga berdampak bagi korbannya pula. Dampak fisik yang dihasilkan dari kekerasan dalam rumah tangga dapat berupa cedera ringan atau kondisi serius, seperti memar, luka, patah tulang, dan sebagainya.
Jika kekerasan tersebut berkategori seksual, tentu kesehatan kewanitaan bisa ikut terganggu, misalnya perdarahan pada vagina bahkan kehamilan yang tidak diinginkan. Dampak psikis yang dihasilkan yaitu korban kekerasan seperti ketidakstabilan emosi, misalnya mudah marah, kebingungan, takut, hingga mati rasa terhadap sesuatu. Bahkan KDRT dapat mengakibatkan munculnya kondisi yang lebih parah seperti, Post-traumatic stress disorder (PTSD).
Jika menjadi korban kekerasan, jangan ragu untuk melaporkan tindakan tersebut kepada Komnas Perempuan. Mereka siap menerima aduan mengenai KDRT secara daring, baik melalui email pengaduan@komnasperempuan.go.id maupun media sosial resmi di Facebook, Twitter, dan Instagram (melalui direct message).