Mohon tunggu...
Dewi Mitasari
Dewi Mitasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang

Memiliki hobi mengenai kepenulisan dan riset- riset kecil.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Derita Istri Diantara Budaya Patiarki dan Diskriminasi dalam Kehidupan Rumah Tangga

30 Juli 2022   19:43 Diperbarui: 30 Juli 2022   19:54 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Isteri dalam kehidupan rumah tangga kerap kali menjadi korban kekerasan pada hubungan rumah tangga, walaupun KDRT dapat terjadi pada siapapun, tanpa memandang ras, usia, gender, agama, status sosial, dan tingkat edukasi. Korban dari tindakan KDRT tidak hanya istri tetapi termasuk anak- anak dan anggota keluarga lain yang berada dalam rumah tangga tersebut.

Namun, pada realitanya angka korban kekerasan dalam rumah tangga yang paling tinggi terjadi pada perempuan. Istilah kekerasan digunakan sebagai gambaran perilaku, baik yang terbuka (overt), atau tertutup (covert), tindakan yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (defensive), yang disertai oleh penggunaan kekuatan kepada orang lain. 

Kekerasan dalam rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004 merupakan setiap perbuatan atau tindakan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. 

Kekerasan sendiri bisa berbentuk seperti tindakan dan perampasan hak kebebasan yang bisa atau mungkin terjadinya kesengsaraan atau penderitaan, baik secara fisik, seksual, dan mental. 

Tingkat KDRT yang setiap tahunnya cenderung meningkat menandakan bahwa para korban sudah mulai menyadari bahwa tindak KDRT bukanlah sesuatu yang dapat dinormalisasi, sehingga korban memiliki hak untuk memperjuangkan hidup aman dan lebih baik. Semakin banyak korban yang berani mengutarakan semakin banyak pula data yang terungkap, sehingga hal ini bisa ditangani oleh pemerintah. 

Komnas Perempuan Indonesia mencatat terdapat 259.150 kekerasan terjadi kepada perempuan sepanjang 2016. Kemudian, sebanyak 245.548 kasus diperoleh dari 358 Pengadilan Agama dan 13.602 kasus yang ditangani oleh 233 lembaga mitra pengadaan layanan yang tersebar di 34 Provinsi di Indonesia. 

Catatan mengenai kekerasan terhadap perempuan ini dikeluarkan oleh Komnas Perempuan dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret. Tidak hanya itu pada tahun 2021 kemarin, catatan yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan, tercatat sekitar 3.211 perempuan menjadi korban KDRT. 

Menurut World Health Organization (WHO), sekitar satu dari tiga perempuan di seluruh dunia pernah menjadi korban kekerasan, baik secara fisik maupun seksual, yang dilakukan oleh pasangannya sendiri. Hal ini berarti bahwa sekitar 30 persen perempuan pernah mengalami peristiwa tak menyenangkan itu.

Mengapa Perempuan cenderung menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga ?

Banyak sekali faktor yang menjadi alasan mengapa perempuan kerap menjadi objek kekerasan dalam rumah tangga. Salah satunya yang terjadi karena adanya dominasi gender pada sistem keluarga. Menurut sebuah penelitian di SAGE Journals, dominasi laki-laki dalam sebuah hubungan kerap kali menjadi pemicu kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga mereka. 

Sedangkan, pengertian keluarga sendiri menurut E.S. Bogardus merupakan “The family is a small social group, normally composed of a father, a mother, and one or more children, in which affection and responsibility are equitably shared and in which the children are reared to become self controlled and socially motivated persons”. 

Dalam hal ini keluarga terjadi berdasarkan hubungan antar anggota keluarga yang dijiwai oleh suasana kasih sayang dan rasa tanggung jawab. Hubungan kekerabatan atau kekeluargaan yang dijalin berdasarkan kasih sayang bukan persaingan atau bahkan diskriminasi menjatuhkan salah satu diantara keduanya.

Adanya ketimpangan “power” antara laki-laki dan perempuan bisa menjadi pemicu kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini tidak terlepas dari stereotip antara laki- laki dan perempuan yang beredar di tengah masyarakat bahwa laki-laki lebih kuat dibanding perempuan. Selain adanya gender power imbalance, ada beberapa faktor yang seringkali menjadi pemicu bahwa perempuan sebagai korban kekerasan. Diantaranya sebagai berikut :

  1. Berpenghasilan rendah dari pasangan: Perempuan dengan pendapatan rendah dibandingkan dengan laki- laki berisiko 3,5 kali lebih besar mengalami kekerasan.

  2. Sedang hamil: Hampir satu dari tiga perempuan menerima perlakuan kekerasan saat sedang hamil karena mereka dianggap sebagai wanita yang hidupnya hanya untuk beranak pinak.

  3. Rentang usia: memiliki umur yang lebih muda dari pasangan cenderung menjadi sasaran kekerasan secara individual. Perempuan yang berusia sekitar 20 hingga 30 tahun ditemukan lebih sering menjadi korban kekerasan.

Perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki disebabkan adanya perbedaan biologis atau jenis kelamin keduanya. Dalam  teori nurture melihat perbedaan tersebut sebagai hasil konstruksi budaya dan masyarakat yang menempatkan laki-laki lebih unggul dari posisi perempuan. 

Perempuan seringkali dianggap tidak kuat yang memiliki kekuatan fisik lemah, dan emosional, sehingga hanya berhak mengerjakan pekerjaan yang halus, seperti pekerjaan rumah, mengasuh anak, dan sebagainya. Hubungan sosial dilakukan atas dasar ukuran laki-laki tanpa memandang posisi perempuan. 

Perempuan tidak berhak melakukan hubungan tersebut, dengan adanya perbedaan semacam ini perempuan selalu tertinggal dalam peran dan fungsinya.  Kontribusi perempuan dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dipandang rendah dan berada dibawah laki- laki. . Konstruksi sosial ini tentunya menempatkan perempuan dan laki-laki dalam nilai sosial yang berbeda.

Kekerasan dalam rumah tangga sangat merugikan bagi kehidupan korbannya, kekerasan ini tentunya juga berdampak bagi korbannya pula.  Dampak fisik yang dihasilkan dari kekerasan dalam rumah tangga dapat berupa cedera ringan atau kondisi serius, seperti memar, luka, patah tulang, dan sebagainya. 

Jika kekerasan tersebut berkategori seksual, tentu kesehatan kewanitaan bisa ikut terganggu, misalnya perdarahan pada vagina bahkan kehamilan yang tidak diinginkan. Dampak psikis yang dihasilkan yaitu korban kekerasan seperti ketidakstabilan emosi, misalnya mudah marah, kebingungan, takut, hingga mati rasa terhadap sesuatu. Bahkan KDRT dapat mengakibatkan munculnya kondisi yang lebih parah seperti, Post-traumatic stress disorder (PTSD).

Jika menjadi korban kekerasan, jangan ragu untuk melaporkan tindakan tersebut kepada Komnas Perempuan. Mereka siap menerima aduan mengenai KDRT secara daring, baik melalui email pengaduan@komnasperempuan.go.id maupun media sosial resmi di Facebook, Twitter, dan Instagram (melalui direct message). 

Menjelaskan mengenai kronologi kejadian secara lengkap dan sertakan bukti kekerasan tersebut misalnya berbentuk foto luka, untuk mempermudah proses penyidikan. Kemudian, laporan yang masuk akan diproses 1×24 jam atau bahkan lebih cepat, tergantung pada banyaknya aduan yang masuk. 

Pengaduan tersebut akan diteruskan ke Forum Pengada Layanan sesuai domisili korban untuk pendampingan. Nah, begitulah ulasan mengenai kekerasan terhadap perempuan dan bagaimana cara untuk melapor jika menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun