"Apa yang kau lihat di cermin itu?"
Kalimat yang selalu diucapkan ibu saat menyisir rambutku di depan cermin. Lalu beliau mendendangkan pujian untuk setiap bagian wajahku. Kemudian mengakhiri rentetan pujian itu dengan sebuah pesan.
"Dari semua anugerah istimewa yang ada pada parasmu, kebaikan hatimulah yang menyempurnakannya."
***
"Kau berubah. Aku tak mengenalimu lagi."
Dia berbalik menjauh. Tak kembali. Hingga akhirnya sepucuk surat pemberitahuan sidang perceraian sampai di tanganku.
Apa yang salah? Jangan bilang krim mahal dan perawatan di salon yang kulakukan masih kurang.Â
Rumah pun selalu bersih dan rapi. Ada dua orang yang bertanggung jawab untuk itu.Â
Makanan enak selalu tersedia. Kalaupun tidak sesuai selera, tinggal melenggang ke restoran pilihan.
Jadi, apa yang salah?
Dasar suami tak tahu diuntung.
***
"Maaf, Bu."
"Permintaan maafmu nggak bakalan bisa memperbaiki baju ini! Kamu ceroboh menggosoknya dengan setrika terlalu panas. Sudah! Kamu saya pecat!"
"Tapi, Bu ...."
Plak!Â
Lalu kutepis tanganya. Tak peduli ayahnya yang sudah tua dan sakit-sakitan masih perlu biaya. Aku tak bisa mentolerir kesalahannya.Â
Baju dengan merk ternama seperti ini harus diperlakukan dengan benar. Pembantu ceroboh itu harus pergi.
***
"Atur saja. Begini caranya ...."
Orang kepercayaanku itu tersenyum licik saat kubisikkan sebuah rencana. Kami memang selalu sepaham dalam sepak terjang di kantor.
Sebulan kemudian, rencanaku berhasil. Seorang pegawai baru terpaksa mendekam di penjara akibat kecuranganku.Â
***
"Ibu anda sakit."
"Baik, segera saat ada kesempatan, saya akan berkunjung ke sana."
Ah, harusnya aku ingat janji itu. Janji yang kuucapkan untuk mengunjungi ibu di panti jompo. Tapi biar saja. Toh, aku selalu mengirimkan uang lebih untuk siapapun yang merawatnya di sana.
***
PRANG!
Cermin itu pecah. Kubanting, tadi. Ia selalu mengingatkanku pada ibu. Pada pujiannya, juga pesan dan petuahnya.
Seiring waktu, cemin itu juga mengingatkanku pada setiap luka yang kugoreskan. Dengan lidah tajamku. Dengan licik sepak terjangku. Dengan kerasnya tamparanku. Pada setiap orang yang berada di jalanku.
Kini, cermin itu pecah. Kubanting, tadi. Tak ada lagi yang bisa dikagumi dari wajahku. Jadi untuk apa ia ada?
Ibu sudah pergi. Aku terlambat mengunjunginya.Â
Suamiku sudah pergi. Aku terlambat mengatakan betapa sesungguhnya aku mencintainya.
Hartaku sudah pergi. Api melalapnya habis. Menyisakan luka bakar. Juga cermin dengan bingkai menghitam.
Aku tidak cantik lagi, Ibu. Bahkan hatiku tak lagi mampu menerangi parasku. Setelah cahayanya kupadamkan, bertahun-tahun lalu.
Tenggarong, 26 September 2019Â