Keberdayaan seorang perempuan tidak terlepas dari kepercayaan dirinya yang terbangun dengan baik. Bahkan dari sebuah kepercayaan diri yang penuh, tidak saja memaksimalkan peran perempuan didalam keluarganya, melainkan juga memberinya ruang untuk bermanfaat di ranah public.
Perempuan identik sebagai makhluk pemalu, hal ini lantaran dia tak berani menyampaikan buah pemikirannya secara langsung.
Bahkan apabila dirinya dihadapkan pada sebuah pertanyaan sulit, ekspressi diamnya terkadang diartikan sebagai bentuk persetujuan dari dirinya.
Dwi Rubiyanti Kholifah, aktivis perempuan sekaligus Sekretaris Jendral Asian Muslim Action Network (AMAN) mengatakan saat ini krisis kepercayaan diri masih terjadi di kalangan perempuan. Bicara mengenai krisis kepercayaan tidak terlepas dari factor kemiskinan, literasi dan bermacam kondisi yang menekannya tidak bisa berekspresi.
“Ngomong aja susah, bahkan ngomong sama suami yang keluar hanya air mata, saking nggak bisa menata kata-kata. Kalau hal ini terus dibiarkan, yang rugi dirinya sendiri,” ungkap Dwi Rubiyanti Kholifah saat hadir menjadi narasumber di program acara Nina Nugroho (NN) Solution dan kampanye gerakan #akuberdaya episode 105 bertajuk ‘Perempuan Penjaga Perdamaian’, baru-baru ini.
Nina Nugroho Solution merupakan program corporate social responsibility dari PT Nina Nugroho Internasional yang bertujuan memberikan asupan informasi kepada para wanita dengan multi peran yang merupakan konsumen busana kantor Muslimah rancangan Nina Nugroho.
Diselenggarakan setiap Jumat sore melalui akun Instagram @ninanugrohostore dengan mengundang para pakar dari berbagai bidang.
‘’Nina Nugroho Solution ingin menjadi ajang berkumpul bagi para wanita berdaya yang memiliki bermacam karya dan prestasi di bidangnya masing-masing,’’ urai Nina Nugroho.
Terkait keberdayaan, Ruby kembali menekankan keberadaan AMAN adalah untuk membantu para perempuan terutama di kalangan akar rumput agar memiliki kemampuan menyampaikan apa yang dia pikirkan, rasakan dan percaya diri untuk berbicara.
“Bahwa perempuan dan laki-laki memang berbeda secara fisik emosional dan sebagainya tetapi bukan untuk dibedakan. Nah, kemampuan yang diberikan Tuhan setara ini seharusnya bisa dijaga dan ditumbuhkan untuk kepentingan keluarga dan untuk kepentingan masyarakat. Namun kenyataannya ini kan masih timpang. Nggak semua perempuan bisa mengekspresikan itu dan belum bisa menata leadershipnya dengan baik. Karena kadang-kadang masih takut sama suami.
Menurut pandangan Ruby, belum independent, begitulah gambaran kebanyakan perempuan saat ini. Dia berharap ke depannya perempuan Indonesia memiliki jati diri yang dilahirkan menjadi orang yang terbuka dan mandiri.
Terlebih, katanya lagi Indonesia sebagai sebuah negara yang pluralis dan multicultural, menuntut kaum perempuan dapat berperan dalam menjaga perdamaian di lingkungan terkecilnya.
Upaya perdamaian ini dinilai penting mengingat tantangan belakangan ini banyak suara perpecahan yang diresonansi oleh masyarakat sendiri.
Dikatakan Ruby, sejatinya perbedaan tersebut cukup terjadi di medsos saja agar satu sama lain tidak punya prejudice atau stigma buruk.
“Awalnya memang dimulai dari keluarga dan kemudian beranjak ke ranah public. Kami hadir disini untuk menyakinkan bahwa perempuan bisa melakukan upaya-upaya merawat perdamaian,” papar Ruby, begitu wanita ini akrab disapa.
Terkait kiprahnya di AMAN, menurut Ruby dirinya bergabung sejak 2005. AMAN merupakan sebuah jaringan muslim di Asia yang basenya di Bangkok yang memfokuskan pada isu perempuan dan perdamaian. Di tahun 2007, Ruby berinisiatif membangun di Indonesia karena tertarik pada spirit yang diusung.
Dalam sesi obrolan selama 1 jam itu, Nina Nugroho tergelitik mengupas sejauh mana upaya Ruby dan organisasi yang dipimpinnya dalam mendorong para perempuan untuk mewujudkan perdamaian.
“Kami melalui penguatan di keluarga, perempuan harus ditempatkan di garda depan. Kami membangun jati diri perempuan melalui sekolah perempuan perdamaian. Melalui program ini, perempuan akan ditempat leadershipnya. Mengapa leadershipnya, karena skill inilah yang bisa mengangkat perempuan dari privat atau di rumah ke ruang public,” lanjut wanita yang namanya masuk dalam daftar 100 perempuan dunia berprestasi versi BBC tahun 2012
Leadership sendiri, ekspresinya bermacam-macam. Bisa dalam bentuk seni, politik, maupun sosial. Ruang-ruang itu tersedia di masyarakat kita dan yang dibutuhkan adalah bagaimana menyiapkan para perempuan ini agar bisa accepted di tingkat masyarakat. Sehingga perempuan dapat berkompetisi secara equal dengan laki-laki yang biasanya dominan di level ini (level public).
Di Sekolah Perempuan, para perempuan ditempa dengan berbagai macam skill untuk bisa menjadi leader. Modul pembelajarannya dibuat secara sederhana telah diuji coba selama 3 tahun. Melalui modul ini ada 4 hal yang ingin dicapai, antara lain:
1. Menyiapkan individu yang siap bertransformasi.
Yaitu dari orang yang tidak care pada tetangganya menjadi care, dari yang biasanya menggosip jadi orang yang bertanggung jawab dan hati-hati terhadap lidah atau jempolnya agar tidak sembarangan posting konten. Semuanya dilakukan dengan mengedepakan perspekstif gender dan memperkuat perpektif perdamaian.
2. Mengajari perempuan tentang resolusi konflik.
Ini merupakan sebuah basic skill yang harus dimiliki masyarakat, kenapa? Karena kita dengan tetangga sering kadang tidak bertegur sapa.
3. Menjadikan perempuan sebagai mediator yang baik apabila ada perseteruan dalam kelompok masyarakat.
4. Mengajak perempuan untuk memahami HAM
Dengan memiliki pemahamana tentang administrasi Indonesia, diharapkan perempuan berani untuk bersuara. Misal, tidak dapat BPJS atau kartu Indonesia pintar, perempuan-perempuan ini tidak hanya diam tapi harus berusaha dan dia tahu kemana harus pergi.
“Dalam hal ini kita harus bedakan antara kritik dan kebencian. Mengapa, kritik harus tetap hidup karena kita negara demokrasi . Tetapi kebencian itu berbeda . Kalau kritik sifatnya membangun, sedangkan kebencian sengaja membuat sesuatu ini menjadi buruk, hancur, ada niat tidak baik di sana. Memang bedanya tipis. Tapi saya yakin perempuan Indonesia bisa membedakan. Untuk itu kami dorong mereka untuk membangun ruang-ruang perjumpaan dimana perempuan lintas iman dan budaya itu bisa bertemu dan saling menguatkan menjaga Indonesia kita. Saat ini ada 11 provinsi dan ada di 42 komunitas sudah ribuan perempuan yang terlibat di dalam program ini,” pungkas Ruby .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H