Buru-buru saya bangunkan istri, memberitahukan bahwa air sudah masuk ke dalam rumah. Dia pun kaget dan seketika terjaga sepenuhnya.
Air pun naik dengan sangat cepat, kami pun mulai memeriksa jika ada barang yang masih perlu diselamatkan. Rupanya dalam waktu yang singkat itu, sudah cukup terlambat untuk menyelamatkan oven elektronik, beberapa koper, dan mainan anak-anak di dalam kardus.
Dengan lesu, kami pun kembali ke tempat semula. Saya duduk dan istri di sofa. Pada saat itulah saya bisa memejamkan mata sekitar satu jam.
Tak lama kemudian saya kembali terbangun, sebentar-sebentar melihat jam dinding, berharap pagi cepat datang.
Air di rumah pun terus naik hingga kira-kira 15 cm, di rumah Aldo mungkin sudah 1 meter, di rumah Pak Rudy bisa jadi 75 cm. Di tempat lain tentu sudah lebih dalam lagi, bahkan di beberapa lokasi ada yang sampai tiga meter.
Ketinggian air di rumah kami tak seberapa dibanding saudara-saudara lain. Namun, tetap saja tak nyaman untuk terus berada di genangan.
Syukurlah, hari tak lagi hujan, meski mendung. Istri pun berinisiatif untuk memanfaatkan kamar atas, karena jika tak hujan, maka tak bocor. Namun demikian, lokasi ini harus dibersihkan terlebih dahulu. Dia pun sigap membersihkannya dan secara resmi kami pindah ke kamar kecil di atas tersebut. Di lokasi tersebut fasiilitasnya ada teras tempat menjemur pakaian, tandon air, dan kamar mandi.
Sepanjang hari tak ada hal yang benar-benar saya lakukan kecuali sebentar-sebentar melihat ke bawah, memastikan apakah air sudah surut atau belum. Sesekali, saya juga keluar, berdiri di pagar dan melihat genangan. Pagi, siang, hingga sore hari tak ada perubahan berarti. Seolah-olah air sedang parkir.
Harapan membuncah saat sore itu ada seorang petugas berseragam biru dengan pelampung oranye lewat. Dia bilang, "Tenang-tenang, Pak, pompa sudah dinyalakan."
Sore itu, saya pun bosan dan tak tahan, kemudian memutuskan untuk mulai berjalan-jalan menembus genangan. Rupanya air sudah seperut di jalan depan rumah. Makin jauh berjalan, di belakang dekat rumah Bu RT yang kemarin kering pun kini sudah selutut. Ke arah yang berbeda, genangan juga tinggi di tempat yang kemarin saya lihat dangkal, tetapi berarus deras.
Dalam perjalanan itu, Pak Abu tetangga saya yang lain membagikan empat buah bakwan jagung yang masih hangat. Tak lama kemudian, saat saya sudah tiba di rumah, anak Pak Abu datang dan membagikan dua bungkus mi instan kepada para tetangga, termasuk saya. Sungguh suatu rezeki di tengah petaka.