Mohon tunggu...
Dewa Gilang
Dewa Gilang Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Single Fighter!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenal Sosok Jalaludin Rakhmat: Intelektual yang Membumi

7 Mei 2013   20:17 Diperbarui: 16 Februari 2021   10:34 735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Simplex veri sigillum". Kesederhanaan adalah tanda kebenaran. Kalimat itulah yang melekat di benak saya takkala menilai sosok cendekiawan muslim, Jalaludin Rakhmat.

Kang Jalal, demikian akrab disapa, dilahirkan di Bandung, Jawa Barat, pada 29 Agustus 1949, dari pasangan ayah yang seorang Kiai dan ibu yang seorang aktivis Islam.

Jalal kecil harus merasakan kepedihan sedari kecil takkala ditinggal oleh ayahnya selama puluhan tahun karena kemelut politik Islam.

Sejak saat itulah Kang Jalal hidup di bawah bimbingan ibunya, yang mengantarkan Beliau mengaji ke Madrasah pada sore hari dan kembali mengajarnya membaca Alquran dan kitab kuning pada malam harinya.

Dalam suatu wawancara, ia menuturkan, "Saya dilahirkan dalam keluarga Nahdliyin (NU). Kakek saya punya pesantren di puncak bukit Cicalengka. Ayah saya pernah ikut serta dalam gerakan keagamaan untuk menegakkan syariat Islam. Begitu bersemangatnya hingga Beliau meninggalkan saya sewaktu kecil untuk bergabung bersama para pecinta syariat."

Karena merasa rendah diri, Kang Jalal menghabiskan masa remajanya di perpustakaan negeri, peninggalan Belanda. Ia tenggelam dalam buku-buku filsafat, yang memaksanya untuk belajar bahasa Belanda. Di situ ia berkenalan dengan para Filosof, dan terutama sekali sangat terpengaruh oleh Spinoza dan Nietzche.

Kang Jalal beruntung, sebab ayahnya meninggalkan lemari buku yang dipenuhi oleh kitab-kitab bernahasa Arab. Dari buku-buku (kitab) peninggalan ayahnya-lah, Kang Jalal berkenalan dengan kitab Ihya Ulumuddin. Kitab yang kelak mempengaruhi hidup Beliau.

Sempat sebentar aktif di Persatuan Islam (Persis) semasa SMA, Kang Jalal pun melabuhkan pilihan organisasi keagamaannya kepada Muhammadiyah dan sempat mengalami pendidikan di Darul Arqam.

Namun garis hidup berkata lain bagi cendekiawan muslim itu. Perjalanannya ke Kota Qum, Iran, sangat membekas dan banyak merubah pemikiran Beliau dalam hal keagamaan. Mungkin ini pula yang menjadi sebab mengapa Beliau kerap disebut-sebut ber-madzhab Syiah.

Sebagai cendekiawan dan intelektual muslim, Kang Jalal termasuk intelektual yang membumi. Dia tekun menuliskan pemikirannya lewat puluhan buku, terutama seputar ke-Islama-an. Lebih dari itu, dia juga bergerak untuk menerapkannya di dunia nyata.

Pada tahun 2002, misalnya, Kang Jalal menulis buku "Dahulukan Akhlaq di Atas Fikih". Karya ini menghimbau agar umat Islam tak melulu berkutat pada pemahaman fikih yang berpusat pada ritual, melainkan juga pada akhlak atau karakter. Dan menurut Beliau, karakter ini bisa diperkuat lewat sistem pendidikan.

Karakter muslim berakhlak-lah yang rupanya ingin dicetak oleh pakar komunikasi itu melalui SMU Plus Muthahhari di Bandung, Jawa Barat. Salah satu program pendidikan karakter di SMU itu ialah "spritual camp" serta "spritual work camp".

Dalam program itu, para siswa dititipkan kepada orang miskin, dan selama beberapa hari disuruh melayani orang miskin. Mereka menjadi para pelayan Tuhan, yang berkhidmat kepada rakyat kecil. "Itu mengubah hidup mereka. Anak-anak yang liar pun akhirnya menjadi lembut hatinya," ujar Kang Jalal.

Bagaimana sosok Jalaludin Rakhmat di mata penulis? Sebagaimana kalimat pembuka "Simplex veri sigillum", maka Kang Jalal adalah sosok sederhana.

Pidatonya pada setiap Ahad pagi di Masjidnya yang diberi nama "Al-Munawwarah" tergolong sederhana. Namun di balik kesederhanaan ceramahnya, kalimat-kalimat pidato Kang Jalal memiliki style tersendiri, yakni menggairahkan akal dan menyentuh kalbu.

"Style" yang dipunyai oleh Kang Jalal terbawa pula hingga ke berbagai buku-buku karyanya. Taruhlah semisal "Rindu Rassul", buku yang berkisah tentang Rasulullah yang sanggup membuat air mata saya tak tertahan mengalir ketika membacanya. Dengan gaya bahasanya, Kang Jalal sanggup mengajak pembacanya bak kembali memutar waktu ke zaman Rassulullah Saww.

Walhasil penulis menutup secuil kisah mengenai sosok Jalaludin Rakhmat dengan sebaris puisi yang Beliau persembahkan bagi Baginda Nabi dan tercantum dalam buku "Jalan Rakhmat: Mengetuk Pintu Tuhan."

"Sebarkan Senyum Sang Nabi. Di tengah kecamuk angkara murka, reka perdaya durjana, dan musibah yang menguji rongga dada. Merindukan Sang Nabi adalah obat penentram jiwa. Inilah jalan Sang Nabi, jalan rahmatan lil 'alamin.

Gitu aja koq repot!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun