"Simplex veri sigillum". Kesederhanaan adalah tanda kebenaran. Kalimat itulah yang melekat di benak saya takkala menilai sosok cendekiawan muslim, Jalaludin Rakhmat.
Kang Jalal, demikian akrab disapa, dilahirkan di Bandung, Jawa Barat, pada 29 Agustus 1949, dari pasangan ayah yang seorang Kiai dan ibu yang seorang aktivis Islam.
Jalal kecil harus merasakan kepedihan sedari kecil takkala ditinggal oleh ayahnya selama puluhan tahun karena kemelut politik Islam.
Sejak saat itulah Kang Jalal hidup di bawah bimbingan ibunya, yang mengantarkan Beliau mengaji ke Madrasah pada sore hari dan kembali mengajarnya membaca Alquran dan kitab kuning pada malam harinya.
Dalam suatu wawancara, ia menuturkan, "Saya dilahirkan dalam keluarga Nahdliyin (NU). Kakek saya punya pesantren di puncak bukit Cicalengka. Ayah saya pernah ikut serta dalam gerakan keagamaan untuk menegakkan syariat Islam. Begitu bersemangatnya hingga Beliau meninggalkan saya sewaktu kecil untuk bergabung bersama para pecinta syariat."
Karena merasa rendah diri, Kang Jalal menghabiskan masa remajanya di perpustakaan negeri, peninggalan Belanda. Ia tenggelam dalam buku-buku filsafat, yang memaksanya untuk belajar bahasa Belanda. Di situ ia berkenalan dengan para Filosof, dan terutama sekali sangat terpengaruh oleh Spinoza dan Nietzche.
Kang Jalal beruntung, sebab ayahnya meninggalkan lemari buku yang dipenuhi oleh kitab-kitab bernahasa Arab. Dari buku-buku (kitab) peninggalan ayahnya-lah, Kang Jalal berkenalan dengan kitab Ihya Ulumuddin. Kitab yang kelak mempengaruhi hidup Beliau.
Sempat sebentar aktif di Persatuan Islam (Persis) semasa SMA, Kang Jalal pun melabuhkan pilihan organisasi keagamaannya kepada Muhammadiyah dan sempat mengalami pendidikan di Darul Arqam.
Namun garis hidup berkata lain bagi cendekiawan muslim itu. Perjalanannya ke Kota Qum, Iran, sangat membekas dan banyak merubah pemikiran Beliau dalam hal keagamaan. Mungkin ini pula yang menjadi sebab mengapa Beliau kerap disebut-sebut ber-madzhab Syiah.
Sebagai cendekiawan dan intelektual muslim, Kang Jalal termasuk intelektual yang membumi. Dia tekun menuliskan pemikirannya lewat puluhan buku, terutama seputar ke-Islama-an. Lebih dari itu, dia juga bergerak untuk menerapkannya di dunia nyata.
Pada tahun 2002, misalnya, Kang Jalal menulis buku "Dahulukan Akhlaq di Atas Fikih". Karya ini menghimbau agar umat Islam tak melulu berkutat pada pemahaman fikih yang berpusat pada ritual, melainkan juga pada akhlak atau karakter. Dan menurut Beliau, karakter ini bisa diperkuat lewat sistem pendidikan.