Desa Adat menurut Pasal 1 Angka 8 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali (selanjutnya disebut dengan Perda Bali 4 Tahun 2019) adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Bali. Sistem desa adat merupakan ciri khas sistem pemerintahan desa di Bali.Â
Desa adat di Bali memiliki lima ciri meliputi; 1) desa adat merupakan bagian sistem pemerintahan desa yang memiliki pengurus dan peraturan organisasi (awig-awig) baik tertulis maupun tidak tertulis, 2) terdapat otonomi baik internal maupun eksternal, dan 3) memiliki satu atau lebih kearifan lokal yang berkembang dan digunakan sebagai asas nilai bersama.Â
Hal tersebut mengandung makna kebersamaan dan sistem gotong royong yang diterapkan pada desa adat. Tentunya pandangan ini dilihat dari filosofi Tri Hita Karana yang diemban, meliputi Parhayangan (hubungan manusia dengan Tuhan), Pawongan (hubungan manusia dengan sesamanya) dan Palemahan (hubungan manusia dengan lingkungan) (Griadhi, 2008).Â
Aturan atau awig-awig desa adat yang diserap dalam kebiasaan berkehidupan masyarakat, dan UUD 1945 menjadi sumber hukum tertinggi, dan merupakan aturan yang sangat sakral sehingga masyarakat tidak berani melanggarnya dikarenakan berisikan sanksi sosial, seperti kasepekang atau pengucilan masyarakat.
Dalam kehidupannya, masyarakat di Bali masih percaya dengan keyakinan yang diturunkan leluhurnya. Tatacara pergaulan masyarakat di Bali berpedoman pada aturan lokal yaitu awig-awig yang pengaturan teknisnya diturunkan pada perarem banjar (hasil mufakat bersama), hukum adat ini dapat mengesampingkan aturan yg bersifat umum / Asas Lex Speciali Derogat legi Generali dan aturan ini masih hidup sampai dengan sekarang.
 Adanya pengakuan pemerintah Indonesia tentang kesatuan masyarakat Hukum Adat (selanjutnya disebut dengan KMH adat) disebutkan "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang.
Sistem Pengelolaan Keuangan Desa Adat di Bali
Desa adat merupakan suatu organisasi atau lembaga tradisional kesatuan masyarakat hukum yang mengatur kehidupan masyarakat adat (terdiri atas banjar) yang bersifat sosial, religius serta mandiri yang berada pada suatu wilayah tertentu yang pelaksanaannya diatur berdasarkan awig-awig.Â
Aktivitas yang dilaksanakan oleh desa adat bukan hanya sebatas pengaturan sistem tatanan masyarakat, tetapi juga mengkoordinir kegiatan yang bersifat sosial dan juga kegiatan-kegiatan yang bersifat religius. Hal ini disebabkan karena desa adat merupakan organisasi tradisional yang berlandaskan atas Tri Hita Karana. Hal yang bersifat religius dan spiritual tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan ini termasuk bidang bisnis, karena hal itu akan mengeliminasi antara hal yang bijak dengan ketamakan pada semua makhluk hidup dan lingkungan (Field, 2017).Â
Demikian pula Pertiwi dan Ludigdo (2013) dan Budiasih (2014) menjelaskan bahwa akuntanbilitas dan religius-spiritualitas merupakan satu kesatuan yag tidak dapat dipisahkan.
Sumber-sumber pendapatan desa adat berasal dari internal dan eksternal. Pendapatan dari internal meliputi peturunan (iuran) dari para krama desa (warga desa) dan hasil pengembangan usaha ekonomi produktif desa, meliputi BUMDesa ataupun koperasi desa. Sedangkan sumber pendapatan eksternal berasal dari dana bantuan Pemda.Â