Mohon tunggu...
Dewa Kurniawati
Dewa Kurniawati Mohon Tunggu... pegawai negeri -

hanya seorang tukang obat yang suka mbolang...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bapak, Silahkan Menangis

29 Juni 2015   23:27 Diperbarui: 1 April 2017   08:47 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Aku tak dapat lagi membedakan waktu, bagiku tak ada siang apalagi malam. Di ruangan ini, waktu bahkan seolah berhenti. Setelah berhasil membuka kedua mataku, aku mendapati Bapak sudah berdiri di sebelah kananku. Bapak tersenyum melihatku membuka mata. Juga ada seorang wanita berseragam putih – putih yang telah selesai memeriksa tetesan cairan yang dialirkan melalui selang – selang kecil ke tanganku.

            “Ini dimana ?” aku bertanya pada Bapak yang masih setia disampingku.

            “Masih di rumah sakit” jawab Bapak singkat, berusaha sebisa mungkin menormalkan nada bicaranya.

            “Ini dimana ?” tanyaku lagi.

            “Masih di rumah sakit” jawab Bapak lagi. Hening sejenak.

            “Ini dimana sih ?” lagi – lagi aku menanyakan pertanyaan yang sama.

            “Masih di rumah sakit, Da” agak tinggi nada suara Bapak kali ini.

            “Ruang ICU” aku mengeja tulisan yang tertera di baju yang dikenakan Bapak. Baju berwarna hijau tua yang belum pernah aku lihat sebelumnya.

            “Cuma istirahat sebentar aja disini, habis ini juga pindah lagi ke ruang perawatan biasa”. Bapak menggenggam tanganku, dia mungkin tau betapa aku khawatir dan ketakutan berada disini. Aku bahkan tak tau alasan apa yang menyebabkan dokter tega membawaku kesini. Yang aku tau, semalam aku merasa begitu sesak dan dadaku nyeri. Tubuh yang kemudian menjadi sangat lemah sampai – sampai tak ada tenaga sama sekali.

            “Ngapain disini, pulang aja Pak” ajakku pada Bapak. Sungguh aku hanya ingin pulang. Mendengar suara – suara mesin di ruangan ini benar – benar membuatku takut. Belum lagi beberapa pasien disini ditempeli alat – alat yang akupun tak tahu fungsinya apa.

            “Pulang aja ya Pak, dirumah aja istirahatnya” ajakku lagi pada Bapak. Bapak tak langsung menjawab. Dia malah semakin menguatkan genggaman tangannya pada tanganku.

            “Iya, kita pulang, tapi gak sekarang” jawaban yang sangat diplomatis diberikan Bapak kemudian. Tak lama, datang seorang perawat membawa nampan makanan ke arah tempat tidurku.

            “Dihabisin makanannya ya mas Anda” ucap sang perawat sembari meletakkan nampan berisi makanan itu ke atas meja yang berada di samping tempat tidurku.

            “Mau disuapin siapa, Bapak apa sama suster ?” tanya Bapak padaku. Rasanya aku ingin melakukannya sendiri. Makan dengan suapan tanganku tanpa merepotkan Bapak lagi. Sudah cukup selama hampir satu tahun Bapak menemaniku mengunjungi dokterku di tiap bulannya. Sudah cukup rasanya diri ini menerima semua kebaikan Bapak yang tanpa keluh.

            “Makasih ya suster” ucap Bapak setelah perawat itu meletakkan makananku. Sang perawat kembali ke mejanya yang berada di tengah ruang ICU. Disana ada seorang dokter laki – laki dan beberapa perawat yang terlihat sedang menulis sesuatu. Bapak mulai menyuapiku. Rasa bubur yang hambar, ditambah bibir dan rongga mulutku yang terasa perih, membuatku enggan menelan makanan itu dan melanjutkan makanku.

            “Denger kan kata perawatnya tadi, makanannya mesti habis”. Bapak mencoba merayuku agar mau menghabiskan makananku. Potongan ayam dan sayur sebagai lauk sengaja bapak perlihatkan agar aku lebih lahap lagi mengunyah makananku. Sekuat tenaga aku menahan nyeri di tenggorokan dan sariawan pada bibir dan rongga mulutku.

            “Pak, kapan Anda boleh pulang ?” tanyaku disela makan.

            “Kalo udah kuat dan bisa pulang, nanti juga dokternya ngizinin pulang” lagi – lagi jawaban yang diplomatis yang diberikan Bapak padaku.

            “Udah pak”. Memaksa memasukkan semua makanan itu ke lambungku, sama halnya mengizinkan makanan itu keluar lagi dari dalamnya. Mual yang sungguh tak bisa kutahan lagi.

            “Ibuk mana, Pak ?” tiba – tiba aku merasa sangat rindu pada Ibuk.

            “Tadi sholat dulu sebentar” jawab Bapak sembari melihat ke arah pintu masuk ruang ICU, yang berada tepat di depan tempat tidurku. Aku melihat beberapa orang yang juga mengenakan pakaian seperti yang Bapak pakai, mereka masuk ke dalam ruang ICU dan mendatangi pasien di sebelahku. Tak lama, isak tangis terdengar diantara diam mereka. suara tangis dan bunyi mesin penyambung hidup di sela – sela hening ruang ICU benar – benar membuatku takut. Aku hanya bisa menggenggam tangan Bapak lebih erat lagi, kemudian melepaskannya. Aku tak mau membuat Bapak lebih khawatir melihat ketakutanku.

            “Itu Ibuk datang”. Sosok Ibuk yang selalu mampu tersenyum disela tangisnya benar – benar menguatkanku. Ibuk menghampiri tempat tidurku. Bergantian menggenggam tanganku setelah aku melepas tangan Bapak.

            “Makanannya kok gak dihabisin, Da?” tanya Ibuk yang melihat nampan di sebelah tempat tidurku masih menyisakan separuh makanan. Aku hanya menggelengkan kepalaku.

            “Buahnya juga belum dimakan ?” tanya Ibuk lagi. Lagi – lagi aku hanya menggelengkan kepalaku. Ibuk mengusap lembut kepalaku. Seperti yang biasa dia lakukan tiap kali melihatku merasa gelisah atau sekedar ingin menunjukkan rasa sayangnya padaku, anak semata wayangnya. Menit – menit berikutnya kami habiskan dengan berbincang tentang apapun. Ibuk membantuku meminum obat setelah lewat setengah jam dari waktu makan. Mereka menemaniku hingga perawat itu kembali datang dan meminta mereka menungguiku diluar karena jam besuk sudah habis.

            “Jangan pernah lepas dari zikir dan istighfar” pesan Ibuk ditelingaku, kemudian mengelus kepalaku dan mengecup keningku. Rasanya saat itu aku tak ingin melepaskan tangannya, tak ingin Ia pergi bersama Bapak.

            “Ditungguin di luar ya sayang, Anda istirahat aja disini dulu” ucap Ibuk sembari berusaha melepaskan tangannya dari genggaman tanganku. Aku tak ingin ditinggal sendiri diruangan ini Ibuk, sungguh aku hanya ingin pulang dan berkumpul dengan Ibuk dan Bapak. Tiap detik harus aku lewati dengan rasa takut yang semakin besar dan kekhawatiran yang entah dari mana namun selalu datang. Ibuk...

            Setelah Ibuk dan Bapak keluar dari ruang ICU, suasana di dalam ruangan semakin hening. Pengunjung yang tadi menangisi pasien di sebelahku pun sudah tak lagi ada. Hanya suara mesin penyambung nyawa yang mendominasi diselingi percakapan para perawat dan dokter sesekali. Aku berusaha memejamkan mata, mencoba untuk tidur meski rasanya tak ingin. Tubuhku semakin terasa lemas, tarikan nafas yang lebih sering dan cepat dari biasanya mulai kurasa. Meski selang oksigen masih tertancap dihidungku, namun tak mampu mengurangi rasa sesak yang semakin lama semakin sering kurasa.

            Susah payah aku mencoba untuk tidur, entah pukul berapa akhirnya aku berhasil memejamkan mataku. Semua berjalan dengan sangat cepat. Aku bahkan tak dapat mengingat apapun sampai saat dimana aku melihat Bapak berdiri di sebelah kananku, menggenggam erat tanganku. Aku mampu mendengar suara Bapak yang berkali – kali membisikkan “La ila ha illallah” ke telingaku, tapi rasanya aku tak memiliki kekuatan bahkan hanya untuk membuka mulutku. Tubuhku terlalu lemas, tapi entah kenapa aku mampu mencengkeram erat tangan bapak, seolah semua kekuatan tubuhku hanya berpusat pada tanganku.

            Nafasku semakin memburu cepat, sesak yang benar – benar membuat aku berlomba dengan selang oksigen untuk menghirup udara yang dihasilkannya. Ujung – ujung kakiku mulai mati rasa. Terdengar suara sebuah mesin yang sepertinya diletakkan di sebelahku. Tak lama kemudian, seperti ada dua buah benda yang ditekan ke atas dadaku dan membuat dadaku terguncang hebat hingga terangkat.

            “Siap lagi ya suster” perintah sebuah suara yang samar – samar terdengar. Dua buah benda itu kembali ditekankan ke atas dadaku dan membuat dadaku terguncang hebat. Aku semakin merasakan lemas yang teramat sangat di tubuhku. Bukan hanya kakiku yang mati rasa, kini bagian tanganku pun rasanya sudah tak lagi mampu merasa. Suara sang dokter samar – samar menghilang, menyisakan Bapak yang terus membisikkan kalimat “La ilaa ha illallah” ditelingaku. Aku menangkap kilatan bening di mata Bapak dari ujung mataku yang mulai menutup.

            Sebuah cahaya yang teramat terang perlahan masuk melalui pintu ruang ICU yang masih menutup. Aku manatapi Bapak yang mulai melepaskan genggaman tanganku, kemudian mengusapkan tangannya ke wajahku dari ujung kening hingga dagu. Mataku telah menutup sempurna. Kilat bening di mata Bapak telah berubah menjadi genang air mata yang perlahan menetes.

            “Bapak, maaf sudah membuatmu menangis lagi,,, tapi ini yang terakhir” ucapku pada Bapak, sebelum akhirnya cahaya terang itu membawaku pergi bersamanya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun