Mohon tunggu...
Dewa Kurniawati
Dewa Kurniawati Mohon Tunggu... pegawai negeri -

hanya seorang tukang obat yang suka mbolang...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bapak, Silahkan Menangis

29 Juni 2015   23:27 Diperbarui: 1 April 2017   08:47 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            “Pulang aja ya Pak, dirumah aja istirahatnya” ajakku lagi pada Bapak. Bapak tak langsung menjawab. Dia malah semakin menguatkan genggaman tangannya pada tanganku.

            “Iya, kita pulang, tapi gak sekarang” jawaban yang sangat diplomatis diberikan Bapak kemudian. Tak lama, datang seorang perawat membawa nampan makanan ke arah tempat tidurku.

            “Dihabisin makanannya ya mas Anda” ucap sang perawat sembari meletakkan nampan berisi makanan itu ke atas meja yang berada di samping tempat tidurku.

            “Mau disuapin siapa, Bapak apa sama suster ?” tanya Bapak padaku. Rasanya aku ingin melakukannya sendiri. Makan dengan suapan tanganku tanpa merepotkan Bapak lagi. Sudah cukup selama hampir satu tahun Bapak menemaniku mengunjungi dokterku di tiap bulannya. Sudah cukup rasanya diri ini menerima semua kebaikan Bapak yang tanpa keluh.

            “Makasih ya suster” ucap Bapak setelah perawat itu meletakkan makananku. Sang perawat kembali ke mejanya yang berada di tengah ruang ICU. Disana ada seorang dokter laki – laki dan beberapa perawat yang terlihat sedang menulis sesuatu. Bapak mulai menyuapiku. Rasa bubur yang hambar, ditambah bibir dan rongga mulutku yang terasa perih, membuatku enggan menelan makanan itu dan melanjutkan makanku.

            “Denger kan kata perawatnya tadi, makanannya mesti habis”. Bapak mencoba merayuku agar mau menghabiskan makananku. Potongan ayam dan sayur sebagai lauk sengaja bapak perlihatkan agar aku lebih lahap lagi mengunyah makananku. Sekuat tenaga aku menahan nyeri di tenggorokan dan sariawan pada bibir dan rongga mulutku.

            “Pak, kapan Anda boleh pulang ?” tanyaku disela makan.

            “Kalo udah kuat dan bisa pulang, nanti juga dokternya ngizinin pulang” lagi – lagi jawaban yang diplomatis yang diberikan Bapak padaku.

            “Udah pak”. Memaksa memasukkan semua makanan itu ke lambungku, sama halnya mengizinkan makanan itu keluar lagi dari dalamnya. Mual yang sungguh tak bisa kutahan lagi.

            “Ibuk mana, Pak ?” tiba – tiba aku merasa sangat rindu pada Ibuk.

            “Tadi sholat dulu sebentar” jawab Bapak sembari melihat ke arah pintu masuk ruang ICU, yang berada tepat di depan tempat tidurku. Aku melihat beberapa orang yang juga mengenakan pakaian seperti yang Bapak pakai, mereka masuk ke dalam ruang ICU dan mendatangi pasien di sebelahku. Tak lama, isak tangis terdengar diantara diam mereka. suara tangis dan bunyi mesin penyambung hidup di sela – sela hening ruang ICU benar – benar membuatku takut. Aku hanya bisa menggenggam tangan Bapak lebih erat lagi, kemudian melepaskannya. Aku tak mau membuat Bapak lebih khawatir melihat ketakutanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun