Mohon tunggu...
Dewa Kurniawati
Dewa Kurniawati Mohon Tunggu... pegawai negeri -

hanya seorang tukang obat yang suka mbolang...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bapak, Silahkan Menangis

29 Juni 2015   23:27 Diperbarui: 1 April 2017   08:47 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            “Itu Ibuk datang”. Sosok Ibuk yang selalu mampu tersenyum disela tangisnya benar – benar menguatkanku. Ibuk menghampiri tempat tidurku. Bergantian menggenggam tanganku setelah aku melepas tangan Bapak.

            “Makanannya kok gak dihabisin, Da?” tanya Ibuk yang melihat nampan di sebelah tempat tidurku masih menyisakan separuh makanan. Aku hanya menggelengkan kepalaku.

            “Buahnya juga belum dimakan ?” tanya Ibuk lagi. Lagi – lagi aku hanya menggelengkan kepalaku. Ibuk mengusap lembut kepalaku. Seperti yang biasa dia lakukan tiap kali melihatku merasa gelisah atau sekedar ingin menunjukkan rasa sayangnya padaku, anak semata wayangnya. Menit – menit berikutnya kami habiskan dengan berbincang tentang apapun. Ibuk membantuku meminum obat setelah lewat setengah jam dari waktu makan. Mereka menemaniku hingga perawat itu kembali datang dan meminta mereka menungguiku diluar karena jam besuk sudah habis.

            “Jangan pernah lepas dari zikir dan istighfar” pesan Ibuk ditelingaku, kemudian mengelus kepalaku dan mengecup keningku. Rasanya saat itu aku tak ingin melepaskan tangannya, tak ingin Ia pergi bersama Bapak.

            “Ditungguin di luar ya sayang, Anda istirahat aja disini dulu” ucap Ibuk sembari berusaha melepaskan tangannya dari genggaman tanganku. Aku tak ingin ditinggal sendiri diruangan ini Ibuk, sungguh aku hanya ingin pulang dan berkumpul dengan Ibuk dan Bapak. Tiap detik harus aku lewati dengan rasa takut yang semakin besar dan kekhawatiran yang entah dari mana namun selalu datang. Ibuk...

            Setelah Ibuk dan Bapak keluar dari ruang ICU, suasana di dalam ruangan semakin hening. Pengunjung yang tadi menangisi pasien di sebelahku pun sudah tak lagi ada. Hanya suara mesin penyambung nyawa yang mendominasi diselingi percakapan para perawat dan dokter sesekali. Aku berusaha memejamkan mata, mencoba untuk tidur meski rasanya tak ingin. Tubuhku semakin terasa lemas, tarikan nafas yang lebih sering dan cepat dari biasanya mulai kurasa. Meski selang oksigen masih tertancap dihidungku, namun tak mampu mengurangi rasa sesak yang semakin lama semakin sering kurasa.

            Susah payah aku mencoba untuk tidur, entah pukul berapa akhirnya aku berhasil memejamkan mataku. Semua berjalan dengan sangat cepat. Aku bahkan tak dapat mengingat apapun sampai saat dimana aku melihat Bapak berdiri di sebelah kananku, menggenggam erat tanganku. Aku mampu mendengar suara Bapak yang berkali – kali membisikkan “La ila ha illallah” ke telingaku, tapi rasanya aku tak memiliki kekuatan bahkan hanya untuk membuka mulutku. Tubuhku terlalu lemas, tapi entah kenapa aku mampu mencengkeram erat tangan bapak, seolah semua kekuatan tubuhku hanya berpusat pada tanganku.

            Nafasku semakin memburu cepat, sesak yang benar – benar membuat aku berlomba dengan selang oksigen untuk menghirup udara yang dihasilkannya. Ujung – ujung kakiku mulai mati rasa. Terdengar suara sebuah mesin yang sepertinya diletakkan di sebelahku. Tak lama kemudian, seperti ada dua buah benda yang ditekan ke atas dadaku dan membuat dadaku terguncang hebat hingga terangkat.

            “Siap lagi ya suster” perintah sebuah suara yang samar – samar terdengar. Dua buah benda itu kembali ditekankan ke atas dadaku dan membuat dadaku terguncang hebat. Aku semakin merasakan lemas yang teramat sangat di tubuhku. Bukan hanya kakiku yang mati rasa, kini bagian tanganku pun rasanya sudah tak lagi mampu merasa. Suara sang dokter samar – samar menghilang, menyisakan Bapak yang terus membisikkan kalimat “La ilaa ha illallah” ditelingaku. Aku menangkap kilatan bening di mata Bapak dari ujung mataku yang mulai menutup.

            Sebuah cahaya yang teramat terang perlahan masuk melalui pintu ruang ICU yang masih menutup. Aku manatapi Bapak yang mulai melepaskan genggaman tanganku, kemudian mengusapkan tangannya ke wajahku dari ujung kening hingga dagu. Mataku telah menutup sempurna. Kilat bening di mata Bapak telah berubah menjadi genang air mata yang perlahan menetes.

            “Bapak, maaf sudah membuatmu menangis lagi,,, tapi ini yang terakhir” ucapku pada Bapak, sebelum akhirnya cahaya terang itu membawaku pergi bersamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun