DI BAWAH BAYANG REMBULAN
Tangannya menjulur mengambil helai daun yang terjatuh dibawa angin. Lalu ia menatapnya. Terlintas dalam pikiran daun saja coraknya warna warni. Ada merah, hijau, coklat dan ada pula hitam. Mengapa aku harus terkurung dalam penyesalan?
 Bukankah hidup itu memang harus berwarna seperti daun itu? Tapi aku tidak ingin terjatuh seperti daun itu. Raka bangkit dari duduknya. Melangkah menyusuri tepian pantai Mengening.Â
Desiran angin dan debur ombak yang terpecah di sela bebatuan seakan menjilati karang yang kokoh seperti melahirkan tetabuhan dan menepis kesunyian hati Raka. Biasanya Raka menghabiskan senja di pantai. Ketika mentari berwarna jingga menyusup di kaki langit, dia sudah bergegas meninggalkan pantai yang kian gelap. Kali ini Raka luluh dalam kesendirian.
Dalam sunyi malam ia percaya bintang gemintang dan cahaya rembulan terasa membuka jalan nafas kerinduan yang menindih. Setiap deburan ombak, seakan ada bayang perempuan merapat di matanya.
 Andai malam ini aku bisa bertemu, betapa bahagianya walau hanya sebentar. Ah...hasrat ini meski ku kubur. Walau sulit, tapi aku harus mampu. Sepanjang jalan menuju Pura Batu Bolong, temaram lampu pedagang tampak indah. Siluet bayang bermain di air laut.Â
Pengunjung sudah memadati pinggiran pantai sambil duduk-duduk di kedai. Kerinduan seperti pasangan yang dia lihat di bawah tenda bersama Luh Tantri dulu melintas. Rasa dingin tetesan embun malam, seirama dengan dingin perasaannya. Tiba-tiba hp nya berdering.Â
Lama Raka membiarkan suara itu. Ternyata dari Tantri kekasihnya. Dia terpaku, tapi pikirannya tidak tega menyakiti.
"Raka kau di mana?" Suara Tantri terdengar lemah. Raka mencoba menjawab dengan lembut.
"Mengapa kau telpon aku". Suara Raka agak ketus. Tumben hari ini dia tidak bisa menahan kekesalannya.